Cheesyrain

Used to be scared of the ocean, 'Cause I didn't know how to swim.

“Istriku suka sekali minum bir,” mulai Satoru pada pria tua yang duduk di sisinya di kursi baja itu.

Senyuman khas yang selalu memenuhi wajahnya saat mengingat sang istri kembali hadir. Ada tawa renyah menemani ketika ia melanjutkan. “Sekalinya meneguk bir, akan sulit sekali untuk membuatnya berhenti. Sering kali dia sampai tidak sadarkan diri dan membuatku harus menggendongnya pulang. Bahkan sejak kami belum menjalin hubungan, aku selalu menjadi seseorang yang mengantarnya pulang.”

Satoru kembali tertawa. “Wanita itu benar-benar merepotkan.”

Pria tua di sampingnya tersenyum kecil sambil menyilangkan tangan. “Kau sama sekali tidak terlihat keberatan.”

“Ya, sejujurnya aku memang senang ketika melakukannya. Bisa dibilang, waktu-waktu itulah yang membuatku berhasil membuatnya luluh dan berhenti membenciku.” Satoru menanggapi. Ia bersandar pada dinding di belakangnya.

Mata birunya memandang ke langit-langit ruang kecil yang hening itu, terlihat dengan jelas pikirannya tidak berada di sana detik ini.

“Musuh yang berakhir mencintai?” tanya pria tua itu. Saat Satoru menatapnya, ia terkekeh samar karena melihat bayangan Masamichi Yaga dalam diri pria tua itu.

Satoru menggeleng kemudian. “Kami bukan musuh, kami hanya tidak rukun. Dia seniorku saat sekolah. Aku suka sekali menggodanya karena dia begitu menggemaskan seperti mainan kucing yang ingin kumasukkan saku dan kukecup setiap saat.”

Sebuah dengusan lolos keluar dari hidung Satoru. Wajahnya berekspresi jengkel, tapi manik birunya tidak bisa menutupi binaran bahagia karena ombak nostalgia mendatangi benaknya. Ia kembali bersuara. “Kau bisa bayangkan? Dia yang seperti itu, marah padaku karena aku tidak berhenti mengganggunya. Padahal—astaga! Itu salahnya sendiri! Kenapa dia harus begitu menarik perhatianku?”

Si pria tua tergelak hebat mendengar gerutuan Satoru. Ia menepuk keras bahu pria muda dengan rambut putih serupa dirinya itu berkali-kali. “Dasar pria mesum! Apakah kau memberitahu istrimu mengenai hal ini?”

Sambil ikut tertawa bersama pria tua itu, Satoru menggeleng lagi. “Tidak. Tentu saja aku tidak memiliki keberanian untuk berkata sejujur itu padanya. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukannya padaku hahahaha...” Tawa Satoru perlahan-lahan mereda. Sebuah senyum lembut masih tersisa di bibir. “Tapi meski begitu, aku yakin sekali bahwa istriku sangat tahu bagaimana perasaanku tanpa perlu kukatakan.”

“Kenapa kau berpikir demikian?”

“Karena dia memang wanita yang seperti itu,” ucap Satoru perlahan. “Utahime-ku merupakan wanita paling peka, berbelas kasih, dan pengertian dari manusia manapun. Singkatnya, Utahime adalah terbaik dari yang terbaik—Ah! Bahkan melebihi istrimu, Pria Tua.”

“Hei! Kau tidak mendengarkan ceritaku mengenai betapa hebat istriku tadi?” Pria tua itu menghardik Satoru dengan cepat. Tidak terima mendengar ada wanita lain yang lebih hebat dari istrinya.

Namun, Satoru tidak memedulikannya dan hanya tersenyum mencemooh. “Tidak, Utahime Iori sudah pasti merupakan manusia paling sempurna.”

“Tidak ada manusia yang sempurna, Nak. Semua memiliki sisi gelapnya masing-masing.”

“Tentu saja ada. Manusia itu bernama Utahime Iori.” Satoru masih saja keras kepala, nyaris tidak tahu malu.

Melihat bagaimana sikap Satoru, pria tua itu mendesah panjang penuh dengan rasa heran. “Kau terlihat percaya diri sekali.”

“Kau tidak akan pernah tahu betapa menggemaskannya istriku ketika dia marah dengan wajahnya yang merah padam. Ataupun seberapa menarik sikap kerasnya saat menonton pertandingan olahraga kemudian menangis tersedu-sedu saat tim kesukaannya kalah.” Iris biru langit Satoru memandang jauh. Mengais memorinya yang tertata rapi mengenai Utahime Iori yang tersimpan kekal. “Bahkan ketika dia hanya duduk di teras rumah kami sambil meminum teh oolong dan menceritakan hal paling membosankan yang pernah ada, kau tidak akan bisa menahan dirimu untuk tidak mengaguminya.”

Pria itu terdiam sejenak. Satoru baru menyadari jantungnya berdebar kuat. Debar yang sama sekali tidak asing baginya. Debar yang hanya hadir saat nama Utahime memenuhi setiap inci raga dan jiwanya.

Suara Satoru perlahan terdengar, mengisi senyap yang memenuhi ruang sempit itu. “Siapapun yang bertatapan dengan mata cokelatnya yang sehangat dan semanis karamel akan segera tahu betapa menakjubkannya segala hal mengenai wanita itu.”

“Aku adalah pria tua bodoh jika berkata bahwa kau tidak mencintainya.”

Dengan penuh percaya diri, Satoru menjawab yakin. “Ya, itu adalah pernyataan yang tidak masuk akal. Aku paling mencintainya di dunia yang kubenci ini. Tidak ada yang lain.”

“Lalu kenapa kau membunuhnya, 4273?”

***

makna untuk mempersifatkan bagaimana kesadaran mendefinisikan “kenyataan” sejati di dunia.


“Kenapa ramai sekali, ya?” Utahime bertanya sembari menyandarkan tubuh pada sandaran kursi taman.

Mata cokelatnya memandang lurus. Jauh ke depan sana, mengarah pada orang-orang yang berlalu-lalang masuk dan keluar dari sebuah bangunan kayu.

“Ya, itulah yang kupertanyakan sejak tadi,” sahut Satoru yang duduk di sampingnya. Senyum geli terpatri pada wajah tampannya.

“Tempat ini begitu aneh.”

“Kau benar. Sejujurnya, aku tidak terlalu nyaman bersamamu di tempat seperti ini. Seharusnya kita berada di tempat yang menyenangkan.”

“Kau tahu aku membenci keramaian, bukan?”

“Ya, Utahime.”

“Tapi kau membuatku berada di tempat ini, yang dipenuhi dengan wajah-wajah yang tidak kukenali.”

“Aku tidak bermaksud. Bahkan untukku pun banyak sekali orang yang tidak pernah kulihat sebelumnya.”

Utahime mendesah panjang, sarat akan rasa lelah. “Yah, kurasa ini hal yang wajar mengingat kau adalah kepala klan.”

Satoru terkekeh kecil. “Ya, begitulah.”

“Yang lebih menyebalkan adalah tatapan mereka. Lihat tatapan mereka padaku. Memangnya ada yang salah dari diriku? Aku tidak memahaminya.”

“Mungkin karena kimonomu terlihat cantik.”

“Astaga... Kurasa yang paling membuatku tidak tahan untuk bergabung ke dalam kumpulan orang-orang itu adalah...” suara Utahme menajam saat melanjutkan, “para wanita yang datang tidak henti-hentinya.”

Satoru menggaruk tengkuknya penuh kegugupan. “Uhm... Maafkan aku, Utahim—.”

“Dasar bajingan sialan,” umpat Utahime pelan.

Satoru tertawa keras. “Maafkan aku. Aku pun tidak lagi mengingat nama mereka. Aku juga tidak mengerti kenapa mereka merasa harus datang.”

“Sudahlah. Tidak berguna juga merasa marah sekarang.”

“Ya, sama sekali tidak berguna. Pada akhirnya aku bersamamu sampai akhir.”

“Setidaknya sekarang aku tahu siapa aku bagimu.”

“Kau duniaku, Utahime.”

“Aku tahu kau akan mengatakan hal bodoh.”

Satoru tergelak keras. “Aku terluka kau menyebut ungkapan perasaanku sebagai hal yang bodoh.”

Tidak, pria itu sama sekali tidak terluka.

“Jika memang perasaanmu itu nyata, seharusnya kau memberikan cincin itu langsung padaku. Kenapa kau malah menitipkannya pada Nanami? Kau ingin aku menikah dengannya?”

“MANA MUNGKIN SEPERTI ITU!!!”

“Aku tahu kau akan menyangkalnya. Tapi, Gojo, kau meninggalkanku.”

Satoru terdiam.

“Kau bahkan tidak akan bisa mendengarku memanggil namamu.”

”... Aku bisa mendengarnya sekar—”

“Aku benci setiap kali kau bertanya padaku apakah aku menangis karena aku lemah. Tapi rupanya, aku jauh lebih lemah dari yang siapa pun duga.” Utahime menelan ludahnya, menelan bongkahan kepahitan yang mengganjal tenggorokannya.

“Bahkan diriku sendiri,” lanjutnya dengan suara serak.

Satoru tertegun.

“Ketika aku melihat duniaku runtuh hanya dalam satu malam, aku sadar bahwa selama ini kau memang benar, Gojo. Aku lemah. Aku bahkan lebih dari itu.”

“Tidak, itu tidak benar.”

“Aku pikir jika aku bersikap lemah, kau akan datang untuk sekadar menertawakanku. Tapi, tidak ada yang terjadi. Sebab, berapa kalipun aku menangis dengan begitu putus asa, kau tidak lagi ada di sini.”

Utahime melihat Shoko melangkah menuju ke arahnya. Mata Shoko menatap lekat padanya. Utahime merasa sesak karena iris mata itu membuatnya melihat realita.

“Utahime, sudah saatnya Kokubetsushiki.”

▪️▫️

Kokubetsushiki: memorial ceremony, where friends and acquaintances of the bereaved pay their respects to the dead and offer condolences to the family.

Ketika memasuki gudang, Utahime segera menyalakan lampu dan menaruh ponselnya di meja terdekat.

Ia memerhatikan satu-satunya kardus yang berada di paling atas rak, yang ia yakini sebagai kardus yang dimaksud Suguru, dan setelah itu ia mendengus gusar. “Ih, tinggi banget, anjir. Gila nih Suguru,” gerutunya.

Masih sambil menggerutu pelan, Utahime memandang sekitarnya. Ia mencari apa pun yang bisa membantunya untuk meraih kotak kardus berisi dekorasi yang akan digunakan di acara ulang tahun Sukuna malam itu.

Ia akhirnya menemukan sebuah kursi plastik tanpa sandaran yang tampak ringkih. Utahime sangsi kursi itu bisa menahan berat tubuhnya. Tapi selain kursi itu, tidak ada hal lain yang bisa menolongnya.

Di ruangan itu hanya terdapat meja marmer, lemari dan rak, kotak-kotak kardus besar, serta matras super tebal berlapis tiga yang Utahime duga merupakan milik Toji. Dengan begitu, mau tidak mau ia harus menaiki kursi itu. Tidak ada pilihan lagi.

Persis ketika Utahime mulai mengangkat kursi plastik itu, pintu terbuka perlahan. Utahime menoleh. Untuk sesaat ia mengira Shoko lah datang untuk membantunya.

Senyum di wajah gadis itu otomatis terkembang. Namun senyum itu jatuh sepenuhnya sepersekian detik kemudian. Saat mata karamelnya menatap langit musim panas yang dua bulan belakangan ini tidak Utahime ingat pernah ditatapnya.

Satoru Gojo masih berdiri canggung di ambang pintu. Utahime pun tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyapa meski baru saja laki-laki itu pulang setelah nyaris dua minggu berada di luar negeri.

Wajah Utahime berubah semakin kaku. Tatapannya sama sekali tidak bersahabat. Ia tidak bisa menahan dirinya. Entah apa alasannya, Utahime merasa marah. Marah melihat Satoru yang kini berada di hadapannya dengan ekspresi tanpa beban.

Namun sejujurnya, Utahime jauh lebih marah dengan fakta bahwa ia bisa melihat lebih jauh ke dalam diri Satoru melalui biru miliknya.

Ia marah karena melihat dengan begitu jelas bagaimana ekspresi tanpa beban itu hanyalah kamuflase dari betapa besar langit musim panas itu menyimpan terik hingga menyengat dirinya sendiri.

Utahime marah karena ia nyaris melupakan dirinya untuk sesaat karena mata itu.

Dengan cepat Utahime mengalihkan tatapan ke arah lain, kembali melanjutkan gerakannya mengambil kursi plastik untuk ditempatkan di depan rak. Hal itu menyadarkan Satoru pada apa yang menjadi tujuannya. “Sini, gue bantu,” katanya sambil melangkah masuk dan menutup pintu gudang.

Laki-laki berambut silver itu mendekat ke arah Utahime yang tampak tidak memedulikannya. Sekali lagi Satoru berkata, “gue aj—”

“Nggak perlu. Gue bisa sendiri,” potong Utahime, tegas. Gadis itu sedikit menggeser matras yang berada berdekatan dengan rak yang ia tuju, memberi ruang lebih untuk meletakkan kursi.

Satoru turut membantu mendorong matras—yang sejujurnya, dari lubuk hati yang paling dalam, sangat disyukuri Utahime karena matras itu beratnya bukan main dan Utahime tidak sanggup melakukannya sendiri. Tapi gadis itu masih menunjukkan ekspresi datar dan tak acuhnya. Bahkan tidak mengucapkan terima kasih sama sekali.

Saat Utahime sudah menempatkan kursi plastik di posisi terideal untuk mengambil kardus, tangan Satoru segera menahan tubuh gadis itu. Ia memandang Utahime dengan tatapan memelas—nyaris memohon, membuat Utahime segera membuang pandangan. Menolak melihatnya.

“Gue aja, ya. Please, Utahime. Bahaya,” ucap Satoru. Sentuhan Satoru yang berada di bahu Utahime perlahan turun ke lengan. Sentuhannya begitu lembut, seperti yang diingat Utahime.

Utahime kembali menoleh. Selagi mereka bertatapan, Satoru mengelus lengan gadis itu. Seolah-olah ingin membujuk Utahime agar mendengarkannya.

Bukan luluh, justru kedongkolanlah yang Utahime rasakan setelah dengan tiba-tiba sebuah ingatan tentang bagaimana Satoru menyentuh gadis lain di acara TV yang pernah ditontonnya, merebak dalam benaknya tanpa bisa dicegah.

Utahime menepis tangan Satoru. Tatapannya menajam. Suaranya terdengar menusuk. “Gue bisa sendiri. Bisa nggak, sih, lo nggak usah ngurusin? Kayak biasanya ajalah. Kenapa tiba-tiba jadi sok peduli?”

Mendengar perkataan sinis Utahime, Satoru tertegun di tempatnya berpijak. Sepenuhnya tercenung dan seakan tersadarkan atas apa yang telah dipilihnya.

Menghela napas dalam, laki-laki itu akhirnya memilih berdiri di belakang Utahime tanpa mengatakan apa pun lagi. Ia berusaha menjaga gadis itu apabila sewaktu-waktu terjadi sesuatu.

Utahime tidak ambil pusing dan mulai menaiki kursi dengan bibir berkomat-kamit penuh umpatan tanpa suara.

Cih, sok peduli. Biasanya juga cuma jawab oke-oke doang. Maksudnya apaan lagi pake ngelus-ngelus segala? Sorry aja, nih, gue nggak kayak cewek-cewek itu yang cekikikkan kalo dielus-elus. Idih, apa banget, sih? Elus aja sana cewek-cewek itu. Kira-kira itulah gambaran mengenai apa yang dikomat-kamitkan Utahime saat itu.

Tapi, gerak bibir Utahime seketika terhenti ketika tangannya berusaha menarik kardus yang menjadi tujuannya mendatangi gudang.

SUGURU, BENER-BENER LO, YA!! ENTENG APANYA, SIALAN?! Liat aja, gue aduin Shoko!

Tak henti-hentinya Utahime berharap tidak perlu meminta tolong pada Satoru. Memalukan sekali kalau sampai harus seperti itu. Lagipula meski tidak seringan yang dibayangkan Utahime, kardus itu tidak terlalu berat.

Mungkin Utahime sulit menariknya karena kardus itu terletak di rak teratas yang tetap sulit dijangkaunya meski sudah menggunakan kursi. Ia yakin Satoru bahkan tidak memerlukan kursi untuk meraihnya. Dasar sial.

Akhirnya Utahime berhasil menarik kardus itu. Saat berusaha membawanya turun, keseimbangannya goyah. Utahime menjadi panik karena kakinya mulai bergetar dan tangannya tidak kuat menahan beban kardus.

“Eh, Utahime, ati-ati!”

Utahime refleks memekik saat Satoru berusaha menolong dengan mengangkat tubuhnya. Tapi karena pijakan laki-laki itu pun tidak pas ditambah dengan ruang yang sempit, ia kesulitan untuk tiba-tiba menahan beban tubuh Utahime. Akhirnya keseimbangannya ikut goyah.

Satoru memilih menjatuhkan diri di atas matras yang ada di belakang mereka. Itu adalah keputusan paling tepat dan rasional. Yang tidak dipertimbangkannya adalah ketika ia menjatuhkan diri, tubuh Utahime pun ikut jatuh bersamanya.

Itulah mengapa kini mereka berakhir jatuh terduduk bersama, dengan Utahime duduk di atas pangkuannya sementara kotak kardus yang diambil gadis itu jatuh di dekat kaki mereka.

Suasana berubah hening.

Utahime yang pulih lebih dulu, tersadar dengan posisinya sekarang. Semu merah terlukis di pipinya. “Eh, sorry banget!” Sembari berkata seperti itu, Utahime bangkit berdiri.

Dan, Utahime terkejut bukan main saat Satoru meraih pergelangan tangannya. Laki-laki itu mendongak, memandang Utahime begitu dalam. “Boleh nggak... lo duduk di posisi tadi lagi...?” Suara Satoru terdengar pelan, penuh ketidakyakinan.

”... Sebentar aja,” lanjutnya, sepenuhnya memohon.

Utahime masih diam. Batinnya bergejolak. Ia marah pada Satoru yang bersikap plin-plan. Bukankah laki-laki itu yang ingin menjauh? Jadi, kenapa bersikap seperti ini sekarang?

Ya, ia marah pada Satoru Gojo yang membuatnya bingung. Ia marah pada Satoru Gojo yang selama dua bulan ini bersikap seakan semua berjalan normal di hadapannya.

Namun Utahime tahu, ia lebih marah pada dirinya sendiri yang merasa tidak keberatan dengan permintaan Satoru. Ia lebih marah pada dirinya sendiri yang mulai lupa diri hanya karena langit biru itu menawarkannya kehangatan.

Beberapa detik kemudian, Satoru bersumpah bahwa jantungnya melompat keluar ketika tanpa mengatakan apa pun, Utahime kembali duduk di pangkuannya seperti semula.

Perlahan, tangan laki-laki itu melingkar di sepanjang pinggang Utahime. Ia memeluk Utahime. Untuk pertama kalinya.

Satoru sadar betapa tak tahu malu dirinya saat itu. Tapi, ini sungguh menyiksa. Satoru tidak lagi bisa menahan dirinya. Ia merasa akan mati jika tidak melakukannya.

Tubuh Utahime yang semula kaku, mulai rileks dan bersandar sepenuhnya pada Satoru. Ia berusaha tidak memedulikan debar jantungnya—ataupun debar jantung yang menghentak punggungnya begitu kuat.

Satoru menaruh pipinya di puncak kepala Utahime. Matanya memejam dan ia menghela napas dalam. Aroma manis seperti selai gula dari rambut halus Utahime menyapa hidungnya. Satoru akhirnya bisa kembali bernapas.

“Lo baru sampe?” Utahime membuka suara lebih dulu.

“Iya, makanya capek dan butuh isi energi.”

“Dengan meluk gue?”

Satoru terdiam sejenak, lalu menyahut pelan. “Nggak boleh, ya?”

Mendadak Utahime menoleh, menatapnya dengan ekspresi gusar. “Ya pikir aja, anjir! Lo bilang mau ngejauh, kan? Jadi, ngapain?”

Dengan senyum lemah, Satoru memerhatikan air muka Utahime yang terlihat frustasi. Ia mengelus poni gadis itu sesaat, dan kembali melingkarkan tangannya di pinggang Utahime. “Susah banget ternyata. Kalo menurut lo, susah nggak, sih?”

Utahime menolak membalas tatapan Satoru. Ia kembali ke posisinya; bersandar di tubuh Satoru. Suaranya lirih terdengar. “... Lumayan.”

“Beneran?!” pekik Satoru sambil berusaha melihat wajah Utahime dari samping.

Utahime mendorong wajah Satoru menjauh dengan wajah yang memanas. “Berisik.”

Pelukan Satoru mengerat. “Utahime, maaf ya. Gue nggak bisa—”

“Basi, ah. Udah, nggak usah dibahas lagi. Gue tau lo punya situasi lo sendiri, dan gue ngehargain pilihan lo walau nggak sesuai sama pendapat gue.” Utahime mendengus jengkel. “Jangan pernah minta maaf lagi. Gue sampe bosen bilang ini bukan salah lo doang.”

“Utahime, bisa nggak sih lo jangan terlalu sempurna? Ntar kalo gue naksir, guenya insecure.”

“Bercanda mulu.”

Satoru hanya terkekeh, tidak menanggapi lebih jauh. Tidak ingin. “Kabar lo gimana? Kok lo enteng banget, sih? Makan yang banyak dong, Utahime. Drama lo udah selesai, ya? Udah ada project baru? Btw, lo makin... deket, ya, sama lawan main lo? Pacaran?”

“Nggak pacaran.”

Satoru mendadak tergelak kencang karena tanggapan Utahime. “HAHAHAHAHA... Kok yang dijawab itu doang? Gue, kan, nanyanya banyak.”

Dengan datar, Utahime menukas, “yang paling lo mau tau yang mana?”

Satoru terkekeh jengah. “Hehehe iya, sih, yang itu. Tapi, beneran? Kok lo sampe foto sambil nyium pipi dia segala?”

“Lo nanya gini karena kepo aja?”

“Mau jawaban jujur apa jawaban aman?”

“Kalo aman?”

“Iya, kepo aja.”

“Kalo jawaban jujur?”

“Pilih aman aja, gimana?”

Utahime memukul lengan Satoru sebal, sedangkan laki-laki itu langsung terbahak-bahak. “Yee, goblok!”

Satoru terkikik geli. “Ya udah, lo mau jawab nggak?”

Setelah mendesah panjang, Utahime akhirnya menjelaskan. “Itu foto buat promosi aja, nggak ada maksud apa-apa.”

“Oh, gimik doang, ya.”

“Iya, kayak lo; tukang gimik.”

Satoru menggigit bibir untuk menahan tawa saat mendengar nada menyindir dari suara Utahime. Ia bertanya sambil tersenyum geli. “Gimik gue kayak gimana, sih, contohnya?”

Utahime, entah bagaimana, kesulitan menutupi kegeramannya yang membingungkan. “Ya modus ke cewek-cewek. Lo suka gimik begitu, kan? Kayak megang-megang tangan, meluk-meluk—”

“Gue nggak pernah meluk-meluk cewek lain, anjir! Apalagi di TV!” Satoru menyangkal cepat. Ia mendekatkan wajahnya pada Utahime, berusaha melihat ekspresi gadis itu.

Tapi, Utahime tidak tampak terkesan. Ia bahkan tidak sekadar memberi lirikan saat bergumam singkat. “Halah.”

“DEMI TUHAN, NGGAK PERNAH!”

Akhirnya Utahime memalingkan wajah ke arah Satoru. Eskpresinya masih datar. “Terserah, sih. Nggak perlu juga lo jelasin ke gue.”

“Serius, Utahime! Gue meluk lo doang!” Satoru diam sejenak. Senyum sumringah mendadak memenuhi wajahnya. “Utahime... HAHAHAHAHA...”

Utahime mendesis. “Ih, apa, sih?!”

Bibir Satoru menyunggingkan senyum kecil yang menyiratkan berbagai kesenangan. Tampak dengan jelas betapa laki-laki itu menikmati saat ini. “Lo cemburu?” Satoru berucap kemudian. Suaranya terdengar menggoda.

Utahime membuang muka, kembali ke posisi sebelumnya. “Lo kali,” cetusnya pendek, tidak ingin terlihat terpengaruh karena pertanyaan ringan itu.

Namun setelah kalimat Utahime menguar di udara, Satoru tidak mengatakan apa pun. Ia tidak menyangkal, namun diamnya terasa janggal. Seolah ada jawaban dari tanpa-kata darinya.

Utahime yang terheran-heran dan menolak untuk menciptakan kemungkinan dalam kepalanya, mendongak untuk memandang Satoru. “Lo cemburu beneran?” Gadis itu bertanya lagi, mencari kejelasan.

Satoru menjawab pertanyaan itu dengan senyum jenaka bersama gedikkan di bahu. Ia tidak menjelaskan lebih jauh maksud dari sikapnya. Namun, Utahime cukup puas dengan jawaban itu sehingga kembali bersandar seperti semula bersama senyum samar di bibir ranumnya.

Saat teringat sesuatu, Utahime tiba-tiba menepuk lengan Satoru yang masih bersarang di pinggangnya. “Gue mau ambil hape. Lepas.”

Meski kecewa, Satoru melepaskannya dengan patuh. Ada pemikiran bahwa mungkin memang sudah saatnya ia berhenti memeluk Utahime. Mungkin saja ini cara Utahime untuk memberitahunya.

Tetapi, sehabis mengambil ponselnya, Utahime kembali ke tempatnya.

Tepat di pangkuannya.

Sekuat tenaga Satoru mencoba untuk tidak tersenyum terlalu lebar. Sambil menghela napas dalam untuk menenangkan diri, ia kembali memeluk pinggang ramping Utahime. Berusaha tampak normal.

Walau tentu, Utahime Iori tahu dengan jelas sekencang apa detak jantungnya kala itu.

Sebab, hei, Utahime Iori datang sendiri ke pangkuan Satoru!

Bertolak belakang dengan yang dialami batin Satoru, Utahime tampak biasa saja. “Dengerin lagu ini, deh. Gue yakin lo pasti belum pernah denger,” celetuk Utahime dengan mata masih menatap layar ponsel.

“Lagu apa emang?” tanya Satoru. Ia sandarkan kepalanya di bahu Utahime, ikut mengintip layar ponsel gadis itu.

Soundtrack web drama korea. Sebenarnya gue nggak terlalu suka dramanya, tapi ini lagu favorit gue.” Utahime memasang satu earphone di telinganya, satu lagi di telinga Satoru.

“Ini lagu jatuh cinta yang dinyanyiin setelah perpisahan.”

Kalimat Utahime mengawali musik yang akhirnya memenuhi pendengaran, melebur dalam ingatan.

Ketika mengenang hari itu, mereka akan mengingatnya sebagai salah satu hari yang menyenangkan.

Hari menyenangkan terkadang diingat untuk menguatkan.

▪️▫️

“Tadi Gin bilang apa lagi?” Satoru bertanya pada Utahime sambil memperbaiki kupluk jaket tebal yang dikenakan gadis itu. Jaket miliknya yang ia pinjamkan pada Utahime karena waktu sudah menunjukkan waktu dini hari sehingga hawa semakin dingin.

Utahime terlihat tenggelam di dalam jaket besar itu, membuat Satoru menyengir geli. Laki-laki itu diam-diam menyimpan keinginan untuk mencubit kedua pipi Utahime yang terlihat memiliki sedikit semu merah. Tapi hal terbaik yang bisa dilakukan Satoru hanyalah menepuk puncak kepala Utahime yang terbalut kupluk, tidak lebih.

“Banyak, deh.” Utahime menjawab kemudian.

“Coba sebutin, dong.”

Selama beberapa detik Utahime menatap Satoru yang duduk di sisinya, kemudian beralih memandang danau yang berada di hadapan mereka. “Dia bilang lo nggak suka gue deket-deket sama Shinya.”

Utahime bisa menebak bahwa iris biru Satoru melebar karena perkataannya, meski ia tidak melihatnya langsung sekarang. Tapi suara terbata-bata Satoru membuatnya semakin yakin bahwa laki-laki itu memang terkejut. “Ha-haaahh?? D-dia bilang gitu? Gin bilang—anjir, demi apa? Serius? Gila tuh orang. Tapi e-enggak kok, Utahime. Enggak, suwer, deh, enggak! Gue fine-fine aja lo deket sama Bang Shinya...” Suara Satoru mengecil ketika menambahkan. “...Tapi, ya, jangan terlalu deket juga, sih...”

Dengan cepat Utahime menoleh pada Satoru. Mata karamelnya menatap dengan intens. Suara tenangnya terdengar kemudian. “Emang kenapa?”

“Hah...?”

“Kenapa gue nggak boleh terlalu deket sama Shinya?”

Suasana seketika berubah senyap. Entah Satoru maupun Utahime sama-sama tidak terlihat akan memecah hening itu secepatnya. Keduanya tampak nyaman dengan diam itu, saling berusaha membaca apa yang dipikirkan satu sama lain. Saling mencoba melihat apa yang disimpan di balik ketenangan yang seolah mereka miliki.

Tapi Utahime jengkel untuk mengakui bahwa ia sungguh penasaran dengan apa yang dimiliki langit musim panas itu. Apakah memang seceria dan sehangat yang ditampakkannya? Apakah memang selugu dan seterang yang dipahaminya? Utahime ingin tahu.

Saat itu mereka tengah duduk berdampingan di sebuah kursi kayu pinggir danau. Di sana sepi karena sudah terlalu larut untuk menikmati pemandangan danau yang hanya menyimpan dingin itu. Namun entah sedingin apa pun keadaan saat itu, Utahime sama sekali tidak merasakannya. Hawa dingin sudah sepenuhnya terhalau karena jaket yang Satoru pinjamkan. Atau setidaknya, itulah yang ingin Utahime pikirkan.

Utahime menolak untuk memiliki pemikiran bahwa mata biru maupun senyum lembut Satoru adalah hal terbaik yang bisa menjaganya dari dingin. Itu terlalu berlebihan. Walau mungkin, kenyataannya memang begitu.

Tak berselang lama, Satoru akhirnya memamerkan senyum jenakanya. Bersikap seakan-akan senyum itu adalah senyum yang selama ini selalu terpatri di bibirnya ketika bergurau. “Gue bercanda, kok,” ucapnya kemudian.

Utahime memandangi senyum itu sejenak. Meski ia tidak memahami apa yang dipikirkan Satoru, setidaknya ia cukup tahu bahwa itu bukanlah senyumnya yang biasa. Tapi, Utahime berusaha mengenyahkan keingintahuan atas alasan Satoru bersikap seperti itu. “Oh, bercanda? Oke, deh.”

Setelah tanggapan Utahime, Satoru hanya mengangguk singkat. Bercanda, katanya. Utahime mengulang kalimat itu di dalam kepalanya. Berkali-kali. Dan, mulai mempertanyakan dirinya sendiri. Memangnya apa yang ia harapkan? Berharap Satoru berkata bahwa laki-laki itu cemburu melihat kedekatan Utahime dengan laki-laki lain?

Konyol!

Di sisi lain, jika seandainya Satoru memang berkata bahwa dirinya cemburu, memang Satoru memiliki hak untuk melakukan hal itu? Ini hidup Utahime. Utahime yang memutuskan ingin dekat dengan siapa. Lebih dari apa pun, Satoru bahkan bukan siapa-siapa. Jika memang mereka dapat disebut sebagai teman, tidak ada teman yang bersikap cemburu seperti itu. Satoru memahaminya dengan sangat baik.

Sekarang, dengan keadaan mereka saat ini, yang bisa dilakukan Satoru tidak banyak. Oh, lagipula jika banyak hal bisa ia lakukan, lalu apa? Apa yang akan terjadi? Memang apa yang sedang dikejarnya? Satoru bahkan tidak memahami dirinya sendiri.

Tidak. Ia bukannya tidak paham. Ia tidak ingin paham.

Berusaha mengenyahkan pikirannya yang mulai tidak jelas, Satoru menghadap tubuh Utahime. Memerhatikan apakah gadis itu terlihat kedinginan atau tidak. “Dingin, nggak?” tanyanya.

Ketika Satoru tengah merapatkan jaket yang dikenakannya, Utahime memerhatikan, dan mendengus gusar kemudian. “Mau dirapetin kayak gimana lagi, sih? Lo nggak liat ini jaket tebelnya minta ampun? Gede banget, lagi.”

Mendengar gerutuan Utahime, Satoru pun tertawa keras. Ia menyentuh puncak kepala Utahime, menyahut setelahnya. “Tuh, kebiasaan lo, ya. Diperhatiin malah ngomel. Gue, kan, nggak mau lo malah jadi masuk angin gara-gara gue. Apa mau pulang sekarang aja?”

Dengan cepat Utahime menjawab. “Nggak, nggak mau! Nanti aja. Gue jarang bisa keluar kayak gini.”

Senyum Satoru melebar. Manik birunya berbinar penuh rasa tertarik. Ia merapikan poni Utahime yang sedikit berantakan, tanpa tahu efek apa yang bisa diberikannya dari perlakuannya itu. “Ya udah, makanya nurut aja kalo gue ribet.”

“Hm,” gumam Utahime asal. Ia mengalihkan pandangan ke arah lain. Tidak ingin lebih lama menatap wajah Satoru yang masih sibuk merapikan poninya dengan tekun. Terlalu dekat. Dan—jika ia ingin jujur, terlalu tampan.

Utahime berusaha bersikap normal. Ia bahkan mencoba menulikan telinga dan mencuci otaknya sendiri agar tidak mendengar perkataan Satoru setelah itu. Perkataan Satoru yang sepertinya dimaksudkan untuk bicara pada dirinya sendiri.

“Ya ampun, poninya aja gemes banget.” Itulah yang dikatakan Satoru, yang tampaknya diucapkan tanpa sadar.

Sejujurnya Utahime sudah sering mendengar pujian semacam itu dari banyak orang. Tapi, entah apa yang membuat kata-kata Satoru terdengar lebih tulus hingga membuatnya malu sendiri.

Untuk mengalihkan perhatiannya dari rasa panas pada wajahnya, Utahime yang juga beru mengingat sesuatu akhirnya berceletuk. “Oh iya, tadi Soushi bilang, kalo lo janjiin gue sesuatu, gue baru bisa tagih janji itu tiga tahun lagi. Pas gue tanya maksudnya apa, dia malah nyuruh gue nanya lo aja.”

Satoru sudah duduk seperti semula saat itu. Setelah mendengar ucapan Utahime, ia menutup wajah dan mengutuk. “Dasar bocah gila!” Ia mengangkat wajah, menatap Utahime yang terlihat heran. “Dia serius bilang begitu?”

Utahime mengangguk. “Iya, emang kenapa, sih?”

Satoru menghela napas panjang. Laki-laki itu terlihat ragu. Ia berpikir dan menimbang sejenak bagaimana ia harus menjawab pertanyaan Utahime barusan. Tapi akhirnya, ia memilih untuk mengatakan yang sejujurnya. “Soushi, tuh, bahas soal kontrak kita sama agensi.”

“Kontrak apa?”

“Kontrak soal artis yang baru debut dilarang pacaran selama enam tahun sejak waktu debut.”

Utahime tercenung di tempatnya. Matanya melebar. Ia terlihat tidak bisa menemukan kalimat yang tepat selama beberapa saat. “Dilarang pacaran selama enam tahun? Kok gue nggak pernah denger Infinite Entertainment punya larangan kayak gitu?”

“Iya, itu emang rahasia perusahaan sebenarnya. Tapi, ya, gue pikir nggak masalah juga kalo lo tau.”

“Pantesan aja agensi lo waktu itu sampe negur lo.” Utahime berkomentar.

Satoru mengedikkan bahunya asal. Ia malas mengingat kejadian yang dikatakan Utahime. “Yah, gitu, deh. Makanya artis-artis di agensi gue biasanya nggak terlalu berinteraksi sama lawan jenis, soalnya untuk menghindari skandal.”

“Kalo sampe ada larangan kayak gitu di kontrak lo, berarti harusnya lo juga sama kayak artis-artis itu, kan? Harusnya lo nggak terlalu berinteraksi sama lawan jenis untuk menghindari skandal, kan?” tanya Utahime. Ia terlihat begitu bingung dan heran.

Satoru mengangguk. “Yup.”

Untuk beberapa saat Utahime tidak mengatakan apa pun. Ia memerhatikan Satoru yang wajahnya mulai tampak serius sekarang. Tidak ada senyum jenaka ataupun kerlingan jahilnya yang biasa.

Setelah menelan ludah sejenak untuk menghilangkan rasa kering pada tenggorokannya, Utahime kembali bersuara. “Terus kenapa lo...” Jeda sejenak, lalu, “kayak gini ke gue? Sampe lo dapet teguran segala, tapi lo tetep nggak berubah. Padahal walaupun gue bilang lo nggak perlu peduliin semua hate comment itu, lo, kan harusnya lebih dengerin agensi lo. Jadi, kenapa?”

“Kalo lo nanya kayak gitu, lo juga nanyain hal yang sama kayak gue.” Satoru memperdalam tatapannya, seolah ingin menelan Utahime di dalam langit birunya yang tidak memiliki batas. “Gue juga mempertanyakan hal yang sama. Kenapa gue nggak bisa berenti gangguin lo, ya, Utahime?”

Utahime tidak menjawab. Satoru pun tidak mengharapkan jawaban apa pun dari gadis itu. Mereka saling memandang, dan mereka tahu. Mereka tahu bahwa terlalu banyak hal yang harus mereka pertimbangkan untuk bisa menjawab setiap pertanyaan yang bersarang dalam benak mereka.

Terlalu banyak.

Akhirnya, untuk pertama kalinya, mereka dapat saling setidaknya sedikit mengerti apa yang mereka simpan di balik ketenangan satu sama lain. Ketenangan di balik sinar berbinar dari manik yang mereka tatap. Dan yang mereka temukan adalah jawaban berupa: nikmati detik ini.

Jadi, itulah yang akan mereka lakukan.

Mereka saling membagi senyum. Senyum yang hanya mereka yang pahami.

Mereka hanya diam. Diam yang menikmati kehadiran satu sama lain.

Mereka tidak harus mengetahui setiap hal sekarang. Mereka tidak perlu memiliki jawaban atas setiap pertanyaan.

Ada waktu yang terbentang panjang untuk mereka. Tidak perlu melakukannya sekarang.

Sebab sekarang, mereka tidak memilikinya. ▪️▫️

Utahime tidak tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi, tapi satu hal yang pasti: seseorang baru saja jatuh pingsan setelah melihatnya di depan pintu.

“HHAAAHH?! ANJIR, WOY!!! SERIUSAN ADA UTAHIME??!! INI BENERAN UTAHIME IORI???!!!”

Utahime mengangkat wajahnya dari laki-laki berambut putih yang masih terbaring di lantai tepat di ambang pintu, menuju pemilik dari suara yang baru saja memekik keras. Akhirnya Utahime menemukan laki-laki berambut putih lainnya, yang kini sedang menutup mulutnya dengan tangan bersama ekspresi terkesima.

Tak lama kemudian, seseorang yang lain—juga dengan rambut putih, datang mendekat. Dan, melakukan hal yang sama; memekik penuh keterkejutan dengan kalimat yang kurang lebih serupa.

Yah, Utahime bersyukur setidaknya tidak ada yang jatuh pingsan lagi.

Di tengah kehebohan itu, Satoru tidak juga berhenti tertawa terpingkal-pingkal sejak Gintoki pingsan saat melihat Utahime. “Aduh, goblok banget, anjing,” cetus Satoru di sela-sela tawanya. Saking merasa kejadian yang dilihatnya tadi adalah hal yang terlalu menggelikan, laki-laki itu sampai berjongkok. Terlalu lemas untuk tetap berdiri.

“Et, itu si Gin malah pingsan.”

“Pinggirin dulu dah, biar kagak ngalangin jalan, Bang.”

“Lo, lah, yang pinggirin, To.”

“Bang Shou kan lebih tua, harusnya bisa mikir. Mana mungkin gue bisa minggirin sendiri. Bang Gin aja badannya seberat timbangan amal buruk di akherat.”

“Oh iya, bener. Maap, ye. Ya udah, bantuin sini.”

Kira-kira itulah pembicaraan yang didengar Utahime di antara dua laki-laki yang kini mulai menggulingkan tubuh pingsan teman mereka ke samping, menjauhi pintu. Setelah dirasa tubuh Gintoki sudah tidak menghalangi jalan, kedua laki-laki itu kembali ke hadapan Utahime. Laki-laki yang dipanggil 'Shou' memamerkan senyum sumringahnya, sementara laki-laki yang terlihat lebih muda yang dipanggil 'To' memasang senyum simpul dengan kesan malu-malu.

“Utahime, ayo, masuk. Bangkenya udah disingkirin, jadi kita bisa lewat tanpa harus ngerasa jijik.” Satoru yang akhirnya berhasil mengendalikan tawa, berucap dengan suara geli. Ia berjalan mendahului Utahime, masuk ke dalam apartemen dan memberi tanda pada gadis itu untuk mengikutinya.

Utahime melangkah di belakang Satoru sembari memerhatikan sekitar. Di belakangnya, dua laki-laki aneh tadi mengekori. Keduanya diam-diam saling senggol dengan heboh karena terlalu senang dan bersemangat atas kunjungan seorang Utahime Iori ke dorm mereka hari itu.

Mereka memasuki ruang Tv. Satoru mempersilakan Utahime duduk di salah satu sofa. Saat itulah ia mulai memperkenalkan dua teman segrupnya yang sudah tidak sabar dikenalkan dengan Utahime. “Utahime, kenalin, ini Shousi.” Satoru menunjuk laki-laki yang berdiri tepat di sisinya, laki-laki pertama yang datang setelah kejadian pingsan tadi. Di saat Shoushi sedang menyalami tangan Utahime, Satoru kembali berkata sambil menepis jabat tangan mereka. “Nggak usah terlalu akrab sama dia. Dia genit, mana suka boker.”

Seketika Shousi berseru, keberatan. “Fitnah dajjal!”

Tanpa menggubris Shoushi, Satoru kemudian menunjuk laki-laki terakhir yang berada di samping Shousi. “Ini Tomoe, dia maknae di sini, tapi paling kurang ajar. Nggak usah terlalu akrab juga sama dia.”

Tomoe tidak memedulikan komentar buruk Satoru terhadap dirinya, memilih menyunggingkan senyum terbaiknya ketika menjabat tangan Utahime. Lalu berkata dengan sok lembut. “Jangan didengerin, ya, Kak. Kak Utahime tau, kan, Bang Satoru emang agak...” Tomoe melanjutkan kalimatnya, “aneh,” tanpa suara, yang langsung dihadahi dengan jitakan oleh Satoru.

Utahime sama sekali belum mengucapkan satu patah kata pun sejak tadi. Ia hanya tersenyum. Tersenyum bingung, canggung, dan geli. Ia masih berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Sebab, hei, ada yang jatuh pingsan! Apakah tidak apa-apa membiarkannya begitu saja tergeletak di dekat pintu? Dan yang terpenting, Utahime merasakan perasaan asing yang sungguh aneh.

Ia merasa familiar dengan semua orang di sana, terutama Gintoki. Rasanya bahkan terlalu familiar hingga ia merasa seperti mengenal mereka semua. Mungkin karena ia sering mendengarkan cerita Satoru mengenai semua anggota grupnya. Dan, cerita mengenai tingkah aneh Gintoki adalah cerita yang paling sering didengarnya.

Sekarang hanya tersisa satu orang yang belum ditemui Utahime.

“Wah, ada tamu penting ternyata.”

Utahime yang masih duduk di sofa ruang Tv sambil memerhatikan ketiga orang yang sedang meributkan sesuatu yang tentu saja tidak penting, langsung menoleh ke belakang. Seorang laki-laki dengan sebuah senyuman teduh dan pembawaan yang begitu dewasa serta berwibawa, datang dari ruangan lain yang Utahime duga sebagai dapur.

“Ini Bang Shinya. Leader kita. FYI, dia seumuran sama lo.” Satoru memperkenalkan. Di saat yang sama, Shinya sudah berada di hadapan mereka semua. Matanya tak pernah lepas dari sosok Utahime.

Utahime bangkit berdiri, menyambut uluran tangannya. “Hai, gue Shinya. Seneng akhirnya bisa ketemu lo.” Shinya berucap riang, kalimatnya terdengar sangat tulus. Senyum pada wajahnya melebar ketika melihat balasan senyum dari Utahime.

“Halo, gue Utahime. Salam kenal, Shinya. Sorry, ya, hari ini gue bakalan ngerepotin kalian,” balas Utahime. Akhirnya bisa mengatakan sesuatu setelah sejak tadi hanya mengulas senyum.

Setelah perkataan Utahime bergaung di ruangan itu, semua orang di sana—kecuali Shinya, berteriak penuh semangat secara serempak. “NGEREPOTIN AJA YANG BANYAK!”

Satoru segera mendelik tajam pada Shousi dan Tomoe. “Idih, kagak usah caper, dah, lo berdua.”

“Lo, tuh, capernya kurangin. Emang kagak capek caper ke Utahime terus?” Shousi membalas sengit.

“Mending lo jaga sikap, Bang. Jangan sampe kita emberin kelakuan lo.” Tomoe menimpali, yang akhirnya memancing pertikaian baru yang tidak jelas di antara ketiganya.

Shinya segera mengambil alih keadaan. Ia memandang Utahime yang kini tengah memerhatikan kejadian barusan dengan pandangan tertarik. “Maaf, ya, Utahime. Mereka emang selalu begini.”

Utahime menggeleng, menunjukkan bahwa ia tidak keberatan sama sekali berada di situasi ini. Sambil tersenyum memahami, Utahime menjawab. “Iya, nggak apa-apa, kok. Santai aja. Tapi... itu, yang pingsan—”

“EH, CUY! MASA GUE MIMPI UTAHIME KE SINI, ANJIR!! TIDUR DI DEPAN PINTU BERARTI BUKAN NGALANGIN JODOH, MALAH MIMPIIN JODOH!!” Mendadak sebuah teriakan terdengar dari arah lorong pintu depan. Sudah jelas itu suara milik Gintoki yang akhirnya sudah kembali sadar.

Semua orang di ruang Tv langsung memusatkan perhatian ke arah kedatangan Gintoki. Wajah Gintoki ketika memasuki ruang Tv dipenuhi dengan senyuman senang. Semua orang menatapnya dalam diam. Tidak, lebih tepatnya, diam karena menahan tawa.

Pada awalnya Gintoki bingung melihat sikap teman-temannya. Tapi, ketika ia berpandangan dengan mata karamel milik sosok gadis yang sempat dikiranya hanyalah mimpi belaka, saat itu pula Gintoki tahu bahwa hidupnya sudah berakhir.

Terutama ketika ia melihat dengan jelas bagaimana Utahime Iori menggigit bibirnya untuk menahan tawa sekuat tenaga sampai membuat wajahnya merah padam.

Tidak sanggup menahan malu dan kecewa terhadap takdir, Gintoki berlari ke kamarnya sambil menangis.

Tersedu-sedu.

Kenapa takdir jahat banget, sih, sama aku? ▪️▫️


“Secre.”

Secre mengalihkan tatapan datarnya dari langit yang mulai berubah jingga, menuju manik biru yang selalu menyimpan hangat meski di hari terdingin sekalipun. Manik milik Lumiere Silvamillion.

“Ada apa, Pangeran?” Secre menyahut.

Sebuah senyum terpatri sempurna di bibir Lumiere, lembut suaranya terdengar kemudian. “Bukankah hari ini tampak indah?” tanya laki-laki itu. Ia mendongak, memandang langit dengan binaran pada mata birunya. Sementara Secre masih tetap menatap wajahnya dari samping, di bawah bayang-bayang pohon apel tua berusia lima puluh tiga tahun yang menjadi tempat mereka beristirahat sore itu.

Angin petang berhembus perlahan, menggerakkan rambut pirang Lumiere dan membuatnya sedikit berantakan. Meski begitu, laki-laki itu tidak memedulikan bagaimana penampilannya kala itu. Mata birunya lekat memandang langit yang semakin jingga dan nyaris tak lagi memiliki bekas biru di sana.

“Ya, indah, Pangeran.”

Mendengar tanggapan Secre, Lumiere akhirnya kembali membalas pandangan dari iris merah milik gadis itu. Iris merah yang serupa dengan darah; kental, lekat, pekat. Mata yang menyimpan banyak rahasia yang tak pernah dapat benar-benar dipahami jiwa mana pun.

Lumiere memiringkan kepalanya, menunjukkan ketertarikan yang tak pernah hilang jika itu berhubungan dengan Secre Swallowtail. Hingga kemudian Secre melihat senyum itu. Senyum yang tidak pernah gadis itu lihat diberikan Lumiere kepada orang lain selain dirinya.

Senyum yang menenggelamkan.

“Tapi kau tidak menikmati harimu, Secre,” ujar Lumiere kemudian. Ada kecemasan yang jelas terdengar dalam suaranya. “Ingin menceritakannya padaku? Kupikir hari ini cukup menyenangkan.”

Secre tertegun sejenak sebelum beralih memandang ke arah padang rumput yang membentang di sekitar mereka. Tangannya yang menyentuh rerumputan di bawah telapaknya mengepal kuat. Ia menolak untuk lebih lama melihat iris biru yang menatapnya lekat kala itu. Iris biru yang membuatnya ingin menyelam dalam ketersesatan yang membabibuta.

Secre terlalu takut.

Ada sebuah pemikiran yang sering menghantui benak Secre setiap kali bertatapan dengan biru milik Lumiere. Mata itu begitu hangat. Menyelimuti dirinya dalam kesenyapan. Meresap melalui kulitnya, dan merasuk hingga ke dasar kesakitannya yang tak pernah disadari dirinya sendiri. Yang bahkan Secre tak pernah tahu betapa mendambanya ia pada kehangatan itu.

Tetapi setelah hangat itu menyentuhnya, Secre mendapati jiwanya menggigil kedinginan. Menggigil karena keserakahan terhadap rasa hangat. Terus menggigil hingga yang ia tahu hanyalah keputusasaan.

Di dalam kehangatan itu, Secre ketakutan. Takut tenggelam dalam samudera biru milik Lumiere yang tak memiliki dasar. Secre takut menyerah pada ketiadaan yang diciptakannya. Sebab, di saat dirinya tenggelam, di sanalah Lumiere akan menemukannya.

Dan ketika Secre ditemukan, detik itu pula Secre kehilangan dirinya sendiri.

Di sana, di dunianya yang berisi cahaya senja, Secre mengais-ngais kewarasannya yang hampir lenyap. Tidak ada yang setidaknya memadai untuk paham bagaimana Secre menyimpan segala kepahitan itu di balik wajah tanpa ekspresinya. Bahkan dirinya sendiri.

Dengan suara monoton yang khas, Secre akhirnya menimpali perkataan Lumiere. “Sudah terlalu lama bagi saya untuk mengingat bagaimana caranya menikmati suatu hal, Pangeran. Tapi tidak perlu khawatir. Saya akan terus melayani Pangeran hingga akhir. Bahkan meski akhir pada dasarnya adalah sesuatu yang tanpa akhir.”

Keadaan berubah hening setelah perkataan Secre memenuhi udara, menjadi satu-satunya hal yang terdengar di sana. Selain debar jantung milik gadis itu sendiri. Debar jantung yang hanya mengisi telinganya.

Lumiere mendesah panjang. Ia kembali mendongak, memerhatikan awan yang bergerak perlahan terbawa angin. Mata birunya tampak menerawang, menggambarkan jiwanya tidak berada di sana.

Tidak di sana bersama Secre.

“Secre, aku selalu berterimakasih atas segala yang telah kau lakukan untukku. Namun, Secre, hidupmu adalah milikmu.” Lumiere menoleh, memandang Secre. Gadis itu membalasnya dengan mata yang seolah tanpa rasa, tanpa arti. “Waktu yang kau miliki terlalu panjang untuk hanya terpaku pada tugasmu. Ada banyak hal menyenangkan yang menantimu di masa depan.”

Ada perasaan bahwa perkataan Lumiere detik itu sebenarnya bukanlah pertama kalinya didengar Secre. Ia merasa seperti telah mendengarnya di dalam mimpi-mimpinya. Perkataan yang kini menjadi alasan Secre dapat bertahan.

Sejujurnya, udara pada sore itu tidak terlalu dingin. Pun tak hangat pula. Semuanya terasa normal. Cukup. Semua cukup bagi Secre. Namun mungkin, jauh di lubuk hatinya, Secre tahu mengapa saat itu hawa dingin tidak mengusiknya. Jiwanya sudah terlalu tersiksa oleh rasa dingin hingga tubuhnya tidak lagi sungguh-sungguh terpengaruh.

Walau seperti itu faktanya, lalu kenapa tubuh Secre tetap bergetar? Gadis itu bagaikan menahan pilu dari kerapuhan jiwanya. Kerapuhan yang menjadi mimpi buruknya dalam waktu yang lama. Lebih lama dari yang bisa dibayangkan tubuh kecilnya. Lebih kesepian dari yang bisa dipahami siapa pun. Dan nyatanya, tak ada siapa pun.

Secre berada di sana. Bersama Lumiere.

Lumiere yang selalu ada dalam pejaman matanya.

Dengan suaranya yang tercekat, Secre pun menjawab. “Saya hanya butuh alasan untuk tetap bersedia melanjutkan hari esok. Pangeran cukup untuk membuat saya ingin membuka mata. Itu sudah cukup. Cukup untuk waktu yang tak pasti.” Mata merahnya terlihat lebih gelap. Hampa.

Sebuah usapan menyentuh puncak kepala Secre. Begitu ringan, juga lembut. Mungkin nyaris tanpa arti. Atau setidaknya, itulah yang Secre yakinkan pada dirinya sendiri. Bahwa Lumiere yang mengusap kepalanya dengan lembut, bersama senyum penuh sesalnya dan pandangan dari mata birunya yang mati-matian tak ingin dimengerti Secre, hanyalah perlakuan yang tanpa arti.

Namun Secre tahu dengan sangat baik apa artinya.

Secre yang paling tahu.

“Secre, kau tahu, mengenalmu adalah salah satu hal yang paling kusyukuri dalam hidupku. Jika memungkinkan, aku ingin sekali berada di sisimu untuk waktu yang sangat lama. Dan, aku selalu berpikir bahwa...” Perlahan, jemari Lumiere menyentuh wajah gadis dengan matanya yang tanpa jiwa. Lebih dari dirinya. “Aku selalu berpikir bahwa pria yang akan menikahimu adalah pria paling beruntung di muka bumi.”

Mata merah yang selalu memandang seolah tanpa rasa, kini terhenyak hebat di tempatnya. Tapi ia membisu. Memandang nanar bagaimana dirinya terperosok jauh dalam pendar fantasinya sendiri. Nyaris lesap.

Sebelum Lumiere menurunkan tangannya, laki-laki itu mengelus pipi Secre sejenak. Sebuah senyum jenaka terpatri manis di wajah tampannya yang tak pernah berubah. “...Pria yang benar-benar menjengkelkan. Membuatku iri setengah mati hanya dengan membayangkannya hahaha...”

Laki-laki itu tertawa. Tertawa begitu geli. Secre memejamkan matanya, mendengarkan dengan seksama. Lalu ia simpan derai tawa itu di dalam ruang yang tidak mengenal lekang. Ruang yang menyakiti dan menguatkannya di saat yang sama. Ruang yang mengisi kekosongannya atas hidup tanpa makna utuh untuk waktu yang begitu lama.

Masih dengan matanya yang terpejam, suara lirih Secre terdengar kemudian. Suara lirih yang untuk pertama kalinya menggaungkan kata dari balik mata merahnya yang terlalu pekat. Pekat dalam menyembunyikan. “Apakah Pangeran tidak bisa menjadi pria itu?”

Tak ada jawaban.

Secre tak pernah mendengar jawaban atas pertanyaannya.

Pertanyaan yang tak pernah didengar Lumiere.

Akhirnya Secre membuka pejamannya, yang langsung disambut cahaya fajar. Secre menoleh ke sisinya. Dan, di sanalah Lumiere berada.

Diam, dengan tubuhnya yang membatu.

Secara harfiah.

Ah... Sudah berapa ratus tahun, ya, Pangeran?

***

A liminal space is the time between the 'what was' and the 'next'. It is place of transition, waiting, and not knowing.

Mungkin sudah sekitar dua puluh menit—tidak, memang sudah dua puluh menit. Satoru yakin itu. Ia menghitungnya.

Ya, sudah dua puluh menit Utahime yang duduk di sisi Satoru di ruang TV, sibuk dengan ponselnya bersama senyum yang ingin sekali dikutuk Satoru saat melihatnya.

Bukan. Bukan karena ia tidak menyukai senyum itu. Justru sebaliknya, Utahime terlihat menggemaskan jika Satoru boleh—atau setidaknya, mau jujur. Tapi mengetahui alasan di balik senyum itulah yang menjadi masalah terbesarnya ingin mengutuk keberadaan senyum itu.

Sebab, apa-apaan senyum malu-malu itu? Sungguh, Satoru tidak pernah tahu bahwa Utahime bisa memiliki senyum semacam itu. Sebenarnya apa bagusnya melihat video tidak jelas itu?

Ayolah, di samping Utahime ada laki-laki tertampan sejagat raya dengan mata biru seindah langit cerah dan rambut putih yang selembut awan! Bagaimana bisa Utahime malah tidak mengacuhkannya?

“Ih, ngapain, sih, cengengesan begitu?” Akhirnya Satoru berkomentar ketus sembari melirik ponsel Utahime yang masih menampilkan video TikTok “tidak bermutu” yang semakin membuatnya jengkel sendiri.

Utahime melirik Satoru sekilas, lalu kembali sibuk dengan ponselnya. “Ya emang kenapa, sih? Orang lucu,” balasnya tanpa rasa peduli.

“Gue bisa juga kali ngegombal kayak gitu.”

Kali ini Utahime menatap Satoru sepenuhnya, tampak heran. “Terus gue nanya nggak?”

“Nggak tau, ah!” Satoru segera membuang muka. Wajahnya terlihat sebal. Bibirnya mengerucut dan tampaknya banyak umpatan yang tidak diucapkannya.

Sungguh, Utahime terkejut melihat bagaimana kala itu Satoru terlihat seperti... seperti pacar yang merajuk. Tidak. Lebih tepatnya, pacar yang cemburu dan sedang mencari perhatian? Sungguh, Satoru memang tidak pernah gagal membuat Utahime heran dengan perilaku anehnya.

“Hah? Lo kenapa, sih?” tanya Utahime kemudian, namun Satoru tidak terlihat ingin menjawabnya dan berpura-pura sibuk dengan tontonannya di televisi. Walau sebenarnya ia bahkan tidak tahu apa yang sedang ditontonnya saat itu.

Baru saja Utahime akan kembali fokus pada ponselnya, Mei Mei memasuki ruang TV bersama Shoko. Keduanya baru saja kembali dari halaman belakang, di mana Toji, Kento, Ryo, dan Suguru sedang mengobrol di gazebo sambil merokok. Sebenarnya mereka juga diam-diam berusaha memberi Utahime dan Satoru waktu berdua saat tahu keduanya sedang berada di ruang TV.

Bukan tanpa alasan. Mereka ingin menjadi teman serumah yang baik dan pengertian.

Mei Mei dan Shoko masing-masing duduk di sofa lain yang diperuntukkan untuk satu orang. Desahan panjang keluar dari mulut Mei Mei. Ia berkata, “Lusa gue ada undangan nikah. Pake baju apa, ya?”

“Baju lo seabrek-abrek gitu, masih bingung mau pake apaan?” tanggap Shoko, sedikit jengah.

Dress yang lo beli waktu itu lucu,” celetuk Utahime. “Yang warna baby pink itu. Belum pernah dipake, kan?”

“Oh iya, bener. Gue belum sempet pake itu. Nanti gue coba, ah. Kayaknya cocok juga sama tempat acaranya.”

“Acaranya di gedung?” Shoko bertanya kemudian.

Mei Mei menggeleng. “Outdoor. Di pinggir pantai gitu. Lucu, kan? Gue jarang banget dapet undangan yang selain di gedung kayak gini.”

Saat keadaan hening sesaat, suara gumaman Utahime terdengar jelas di telinga semua orang. “Gue juga pengin...”

Tanggapan datang dari Mei Mei yang tidak paham apa konteks ucapan Utahime saat itu. “Pengin apa? Dateng?”

“Pengin nikah.”

Setelah jawaban Utahime menguar di ruang itu, semua mendadak diam. Tentu tidak berlangsung lama, karena Shoko dan Mei Mei langsung tersenyum geli sambil menyemangati. Tapi, tanggapan Satoru sungguh berbeda dari kedua gadis itu.

“Apa maksudnya pengin nikah? Udah deh, nggak usah ikut-ikutan.” Satoru menukasi, ekspresinya gusar. Ia menatap Utahime dengan alis mengerut. Sama sekali tidak terlihat senang.

Astaga, ada masalah apa dengan laki-laki itu sejak tadi? Utahime tidak bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya-tanya.

Ikut merasa sebal melihat sikap Satoru saat itu, Utahime membalas dengan ketajaman dalam suaranya yang sarat akan banyak kebingungan atas tanggapan laki-laki itu. “Dih? Apa, sih? Emang kenapa? Suka-suka gue, dong.”

Keadaan untuk sesaat berubah sunyi. Entah Shoko maupun Mei Mei, keduanya tidak memiliki keinginan untuk menginterupsi. Mereka justru berencana menikmati suasana saat itu dalam diam. Diam yang menyimpan ribuan tawa menggoda.

Namun kemudian, suara lirih terdengar memenuhi udara. “... Sama siapa?” Suara yang sangat lirih hingga memaksa Shoko dan Mei Mei untuk mencondongkan tubuh mereka itu berasal dari Satoru.

Utahime mengerutkan alis sambil memiringkan kepalanya, sinar matanya penuh tanya. “Hah?”

“Mau nikah sama siapa?”

Sepersekian detik setelah pertanyaan yang akhirnya terdengar lebih jelas dan tegas itu terdengar, Shoko dan Mei Mei langsung membekap bibir mereka dengan tangan. Mereka berusaha menahan segala teriakan yang ingin sekali keluar akibat ucapan Satoru.

Utahime pun tidak lebih baik. Ia terlihat terkejut saat mendengarnya. Ada dorongan dalam diri gadis itu untuk terperangah dengan mulut menganga. Tapi akhirnya ia hanya menatap ke arah lain dan menyahut, “Rahasia.”

Mata Satoru seketika membulat. Kali ini berganti dirinya yang dibuat terkejut. Lebih terkejut dari siapa pun di ruangan itu. Ia bahkan tidak bisa menahan nada tinggi pada suaranya. “LO UDAH TAU MAU NIKAH SAMA SIAPA?!!”

Ketika Satoru berusaha untuk melihat wajah Utahime, Utahime justru semakin enggan untuk menatap laki-laki itu. Entah apa alasannya. Utahime hanya merasa tidak nyaman. Seperti malu. Padahal ia tidak melakukan hal memalukan.

Di saat Satoru masih berusaha untuk melihat wajahnya, Utahime tetap berusaha menghindar. Di saat yang sama, ia menyergah jengkel. “Rahasia! Cerewet lo, ah!”

Akhirnya Satoru memegang pundak Utahime, dan gadis itu secara otomatis menatap Satoru. “Siapa, nggak?!” Satoru masih mendesak Utahime untuk menjawab, sama sekali tidak sadar bahwa sentuhannya pada pundak gadis itu berhasil memberi desir asing yang mati-matian ingin ditampik.

Untuk mengalihkan diri dari keanehan pada dirinya sendiri, Utahime kembali berseru. “A-apaan, sih? Kepo banget!”

“Sama Satoru, ya? Hahaha...” Mei Mei akhirnya ikut bersuara, yang segera memancing tawa terbahak dari Shoko. Sungguh bertolak belakang dengan apa yang dirasakan Utahime yang merasa intensitas beban dari atmosfer di sekitarnya kian bertambah dan membuatnya tidak bisa bernapas lega.

“Apa, sih, Mei?!” hardik Utahime, kesal.

Satoru terdiam. Mendadak tenang seolah tak pernah bersikap konyol beberapa detik lalu. Nyaris membuat Utahime kagum dengan betapa pandai laki-laki itu mengendalikan dirinya.

Satoru menatap Utahime selama beberapa saat, membuat Utahime diam-diam menyimpan kegugupan karena lekatnya tatapan dari mata biru itu. Hingga akhirnya suara Satoru kembali terdengar, seiring dengan terlepasnya tangan laki-laki itu dari pundaknya. “Emang mau nikah kapan?”

Utahime mengerjap sesaat. “Hm? Sepuluh tahun lagi?” sahutnya kemudian, tidak yakin pada jawabannya sendiri.

Tetapi, Satoru tersenyum. Lalu mengangguk. “Noted.”

“LAH, KOK 'NOTED'? MAKSUDNYA GIMANAAA??” Shoko merasa dirinya hampir gila saat mendengar jawaban Satoru. Shoko bahkan nyaris histeris jika Utahime tidak melemparnya dengan bantal sofa yang tepat mendarat pada wajahnya.

Satoru terkekeh samar dengan pembawaan yang terlampau ambigu bagi Shoko yang sudah menaruh ekspektasi tinggi atas kalimatnya. Sementara Mei Mei, gadis itu hanya diam dan menyimpan banyak pemikiran yang tidak ingin dibaginya untuk saat ini.

Kemudian Satoru menoleh pada Utahime yang juga tengah menatapnya. Pupil dari mata karamel gadis itu melebar saat Satoru bertemu pandang dengannya. Senyum tersungging sempurna di bibir laki-laki itu.

“Maksudnya gue bakal ada di pernikahan Utahime sepuluh tahun lagi.”

Ada.

Ada sebagai apa?

Entahlah. Utahime tidak ingin membebankan diri dengan memikirkan perkataan Satoru detik itu. Namun, tatapan mata Satoru sangat mengganggunya. Apakah makna dari langit biru itu sungguh seperti apa yang dipahami olehnya?

Sebab, tatapan itu seakan-akan menjanjikan banyak hal pada Utahime.

Termasuk masa depan. ▪️▫️

Biru itu memandangnya tajam.

Itulah kesan yang Utahime rasakan sesaat setelah ia memasuki dapur untuk mengambil minum. Ia berpandangan dengan Satoru, yang tengah duduk di kursi pantri sembari meminum susu cokelatnya. Ya, susu cokelat yang sempat membuat heboh para penggemar.

Utahime mengangkat alisnya sejenak, heran melihat sikap Satoru saat itu. Sama sekali tak ada senyuman. Padahal laki-laki itu selalu dan tak pernah tidak menyambut kepulangannya dengan mata berbinar bersama senyum sumringah.

Tapi meski Utahime merasa heran dengan perubahan tersebut, ia tidak menunjukkan sikap acuh. Gadis itu hanya terus melangkah menuju kulkas, mengambil sebotol air mineral dan meneguknya perlahan.

“Ini udah jam satu malem, Utahime.” Akhirnya ucapan pertama Satoru terdengar. Suaranya tidak terdengar ramah, membuat Utahime diam-diam menyimpan rasa terkejut di balik ketenangannya.

Masih dengan tubuh menghadap kulkas, yang mana membelakangi Satoru, Utahime menyahut ringan. “Gue tau.”

“Kenapa pulangnya bisa semalem ini, sih? Emang besok nggak ada jadwal?”

Utahime berbalik, bersandar pada kulkas dan membalas tatapan Satoru. “Siang, kok.” jawabnya kemudian.

Satoru mendengus kasar. Ekspresi wajahnya terlihat jengah sesaat sebelum ia bangkit berdiri, mendekati tempat Utahime. Tatapan dari mata birunya tidak pernah terputus dengan mata cokelat gadis itu. Bahkan, semakin dekat biru itu menuju tempatnya, Utahime merasa pandangannya semakin lekat dan menyesakkan.

Ketika Satoru hanya berjarak lima langkah dari Utahime, laki-laki yang telah terbalut pakaian tidur dengan wajah lelah itu menyahut. “Tetep aja, Utahime Iori. Kalo lo sakit gimana? Sekarang ada keluhan apa gitu nggak? Pusing? Pegel-pegel? Atau apa gitu?”

Melihat bagaimana Satoru menampakkan kekhawatiran atas kesehatannya, Utahime mengalihkan tatapannya ke arah lain. Ia menolak untuk merasa tersentuh atau semacamnya. Ia tahu Satoru hanya berusaha bersikap baik.

Namun, sungguh, Utahime tidak butuh itu.

Genggaman Utahime pada botol air mineral di tangannya sedikit menguat. Tanpa merasa ingin membalas tatapan iris biru yang masih menghantuinya, Utahime berceletuk asal. “Bawel, ah.”

Satoru mendekat perlahan hingga menyisakan dua langkah di antara mereka. “Tuh, diperhatiin malah begitu.”

Sambil memutar matanya penuh cibiran, Utahime berkata, “Gue nggak pernah minta diperhatiin.”

Kalo diperhatiin Hyoga mau?”

Keadaan seketika berubah senyap.

Terlalu senyap hingga Utahime bisa mendengar jelas suara detak jam dinding. Terlalu senyap hingga Utahime bisa mendengar deru napasnya sendiri. Dan di tengah kesenyapan itu akhirnya Utahime menoleh pada Satoru, yang baru disadarinya telah berdiri menjulang di hadapannya. Utahime baru tahu jarak dua langkah bisa terasa sedekat ini.

Leher Utahime yang terpaksa mendongak untuk menemukan biru milik Satoru terasa mulai lelah. Dasar kaki-kaki panjang menyebalkan! Tapi, Utahime tidak ingin berhenti mendongak sampai menemukan jawaban dari keterkejutannya atas pertanyaan Satoru.

Pertanyaan yang terlampau ambigu.

Apa maksud laki-laki itu?

Setelah beberapa saat, Utahime akhirnya kembali menemukan suaranya. “Hah? Maksudnya?”

Satoru yang kini membuang pandangan ke arah lain. Nyaris terlihat seperti menghindari mata penuh tanya Utahime. “Lo ngerti maksud gue,” ucapnya, lirih sekali sampai-sampai Utahime harus diam beberapa saat untuk mencerna.

“Kenapa tiba-tiba bahas Hyoga?” tanya Utahime lagi, semakin mendesak.

“Nggak apa-apa.”

Sebelah alis Utahime terangkat. “Dih, masa gitu?”

“Iya, gitu.”

Dengan mata memicing penuh selidik, Utahime memerhatikan Satoru yang masih belum memandangnya. “Apa, sih? Jangan bilang lo bahas Hyoga setelah nonton episode hari ini?”

Akhirnya perhatian Satoru kembali pada Utahime. Sedetik setelah mereka kembali beradu pandang, wajahnya berhasil memancing kedongkolan di diri Utahime. Sebab, laki-laki itu tampak seperti meledeknya. “Emang episode hari ini kenapa? Nggak ada hal penting, tuh.” balas Satoru, kedua tangan terlipat di depan dada.

Sejujurnya, Utahime merasa Satoru lebih terlihat seperti sedang merajuk. Tapi tentu saja pemikiran tersebut menggelikan, bukan? Tidak mungkin Satoru merajuk. Tak ada alasan.

Untuk menanggapi perkataan Satoru, Utahime menyahut, “Kan ada adegan ci—” Mata Utahime membulat sempurna ketika Satoru membekap mulutnya dengan tangan. Kemudian rasa terkejut Utahime meningkat sewaktu ia melihat wajah Satoru kala itu.

Kenapa laki-laki itu tampak kesal?

Jangan. Jangan pernah bahas itu.” Satoru berkata dengan begitu tenang namun penuh penekanan. Mata biru langitnya tampak berawan, tidak ada kecerahan di dalamnya. Dan kenyataan itu membuatnya tampak seperti sosok yang sepenuhnya berbeda.

Alis Utahime bertaut. Mata karamelnya terlihat kebingungan sekarang. Terlalu banyak pertanyaan. Apa yang harus dipikirkannya lebih dulu?

Utahime tak tahu.

Utahime terlalu bingung.

Ada apa ini?

Utahime menepis tangan Satoru dari bibirnya. Tangannya yang masih menggenggam botol, semakin menguat. “Lo... kenapa, anjir?”

“Nggak tau,” Satoru menggeleng. “Mungkin gue terlalu sebel nungguin lo pulang gara-gara lo lama banget.” Baiklah, kali ini Satoru sungguh-sungguh merajuk. Laki-laki itu bahkan tidak malu sedikitpun untuk menunjukkannya.

Tetapi meskipun Utahime ingin sekali mencela sikap aneh Satoru, ucapan laki-laki berambut putih itu berhasil mengalihkan fokusnya. Berusaha untuk tidak terlihat tercengang, Utahime bertanya. “Lo nungguin gue?”

Satoru mengangguk.

“Kenapa? Padahal lo nggak harus nungguin gue. Kalo kelamaan, ya langsung tidur aja.” cetus Utahime, lagi-lagi mendapati dirinya dibuat terheran-heran dengan tingkah Satoru Gojo.

“Nggak bisa kalo belum liat lo pulang.” Jawaban Satoru sebenarnya memiliki banyak makna, tapi Utahime menghindari dirinya sendiri dari keinginan untuk mengetahui lebih dalam. Terutama karena Satoru mengatakan kalimat itu dengan pembawaan terlampau ringan, Utahime tahu bahwa kalimat itu bahkan tidak memiliki arti.

“Dasar aneh. Kayak emak-emak aja lo.” Utahime akhirnya menjawab sekenanya. Dangkal. Sama dangkalnya dengan pemaknaan yang ia miliki dalam kepalanya.

Dan, entah seingin apa pun Satoru untuk melangkah mendekat, Satoru tetap berpijak di tempatnya. Tahu bahwa itulah tempat terideal yang bisa dijangkaunya. Kemudian, ia membalas dengan gurauan. “Iya kali, ya, gue ada sisi keibuan?”

“Bego.” Utahime mencibir. “Udahlah, tidur sana. Udah liat gue pulang, kan?”

“Lo juga tidur. Ayo, gue anterin ke kamar lo.” Satoru memberi tanda pada Utahime untuk mulai melangkah bersamanya menuju kamar gadis itu.

Utahime memutar matanya. “Ribet.”

Meski melemparkan komentar ketus, Utahime tetap membiarkan Satoru mengantarnya menuju kamar. Sepanjang jalan mereka hanya diam, sesuatu yang baru terjadi. Biasanya Satoru selalu memiliki segudang topik untuk dibagikan dengan Utahime. Entah apa yang membuat laki-laki itu memutuskan untuk bersikap berbeda kali ini.

Walau begitu, bukan berarti perjalanan singkat mereka terasa canggung. Sebaliknya, hening di antara mereka tetap nyaman seperti waktu-waktu ketika banyak kata terjalin di udara yang mereka bagi.

Ketika mereka akhirnya mencapai pintu kamar Utahime, Satoru mengusap puncak kepala Utahime sejenak dan langsung pergi tanpa mengatakan apa-apa.

Utahime tidak bisa menahan dirinya untuk tidak memerhatikan punggung Satoru yang terus berjalan menjauh. Laki-laki itu tidak sekali pun menoleh, hanya terus melangkah tanpa rasa peduli.

Satoru sungguh membingungkan. Utahime tidak bisa memahami laki-laki itu sepenuhnya. Tetapi, Utahime tahu satu hal.

Tidak ada senyuman untuknya malam ini. ▫️▪️

Suara sorakan penonton bergaung hebat di seluruh stadion. Oikawa Tooru memandang ke sekitarnya. Memerhatikan bagaimana ekspresi suka cita memenuhi wajah banyak orang. Di baris penonton, di pinggir lapangan, juga pada wajah para pemain voli pria SMA Karasuno.

Segalanya berjalan begitu membahagiakan. Begitu penuh dengan kesenangan tak tergambarkan. Tapi, di sanalah ia, termenung dengan wajah tanpa ekspresinya memandangi setiap senyum dan tawa yang sama sekali bukan miliknya ataupun anggota tim volinya.

Di sanalah Oikawa membisu dan menyaksikan bagaimana telinganya perlahan menuli dan sekitarnya berubah menjadi gambaran bisu yang bergerak dalam mode lambat. Di sanalah Oikawa berdiri dalam kegamangan melihat seluruh dunia terus berputar dan berbahagia meski dirinya tak ikut merasakannya.

Di sanalah dirinya menyaksikan betapa tak ada yang peduli bagaimana hancur dunia seorang Oikawa Tooru.

Ia hancur.

Ia adalah kapten terburuk yang selalu gagal membawa kemenangan bagi timnya.

Selalu gagal.

Selalu.

Mungkin dewa memang membencinya dan mengutuk setiap detik dirinya bernapas dalam kehidupan ini. Sehingga sekeras apa pun ia berlatih, sebanyak apa pun ia berdarah-darah, sehebat apa pun ia memimpin timnya, kejuaraan nasional tak pernah menjadi jalan hidup yang diberikan takdir untuknya.

Dan bahkan, langkahnya semakin jauh sekarang.

Ya, mungkin ia memang dibenci kehidupan.

Kau terlalu keras pada dirimu. Kaulah yang paling tidak memaafkan dirimu sendiri, Oikawa.” Itulah kalimat yang selama ini selalu didengar Oikawa dari Iwaizumi setiap kali tim mereka kalah dari Akademi Shiratorizawa. Tapi, entah berapa kalipun ia mendengarnya, semakin keras dan dingin ia terhadap dirinya sendiri. Tanpa ia sadari.

Saat itu Iwaizumi untuk pertama kalinya tidak mengatakan apa pun. Ia hanya memandang Oikawa yang tengah membasuh wajahnya dengan air mengalir di wastafel toilet stadion, memerhatikannya dalam hening dengan matanya yang sembab.

Ketika Oikawa mengangkat wajah dan menatapnya melalui cermin, Iwaizumi menepuk bahu temannya itu sejenak sebelum akhirnya melangkah keluar. Ia membayar tepukan yang beberapa saat lalu diberikan Oikawa di punggungnya untuk memberinya semangat.

Oikawa sendiri di sana. Terjaga dalam bisu yang terasa tanpa akhir. Dalam keheningan itu, Oikawa menyadari satu hal. Dunia yang sunyi terasa lebih baik. Dalam sunyi, hatinya tak lagi merasakan gejolak perasaan yang begitu dibencinya. Berbagai perasaan akibat kekalahannya.

Kalah.

Oikawa benci kata itu.

Namun, ia lebih benci pada dirinya sendiri.

Pintu toilet tiba-tiba terbuka, menampakkan sosok dengan rambut kelabu yang kemudian terpaku di ambang pintu saat bertemu pandang dengan mata cokelat Oikawa. Oikawa tidak bereaksi ketika tepat di hadapannya, Sugawara Koushi berdiri sembari menatapnya.

Oikawa mengalihkan pandangan ketika Sugawara mulai berjalan masuk dengan senyum canggung terulas di wajahnya. Ia sama sekali tidak membalas senyum Sugawara, pun memperlihatkan bahwa dirinya tidak memiliki kepedulian terhadap hal itu sedikit pun.

Dan, ia sama sekali tidak senang melihat Sugawara berada di sana.

Sugawara Koushi adalah orang terakhir yang ia harap melihat sisi terburuknya seperti saat ini.

Oh, hari ini menjadi semakin sempurna untuk dibenci.

Oikawa kembali membasuh wajahnya bersamaan dengan Sugawara yang kini tengah mencuci tangan di wastafel tepat di sampingnya. Tanpa Oikawa sadari, Sugawara memerhatikannya melalui sudut mata. Keadaan semakin canggung dan memalukan, Oikawa ingin cepat-cepat pergi dari sana.

Dengan wajah dan rambut bagian depan yang basah, Oikawa mulai melangkah mundur dan sudah akan berjalan pergi dari sana. Tapi, entah apa yang dipikirkan setter Karasuno itu sehingga memutuskan untuk mengatakan sesuatu yang tak pernah dibayangkan Oikawa akan ia dengar dari laki-laki itu.

“Kau sangat mengagumkan, Oikawa.”

Tentu saja kalimat itu berhasil menghentikan gerakan Oikawa yang akan meraih gagang pintu. Ia membalikkan tubuhnya, memandang Sugawara yang melihatnya melalui cermin. Mereka berbagi tatap dalam hening yang begitu menyesakkan.

Setidaknya bagi Oikawa dan jantung konyolnya.

Di saat Oikawa belum pulih dari keterkejutannya, Sugawara mengulaskan sebuah senyuman hangat. Senyuman yang selama ini selalu dilihat Oikawa dari jauh. Senyuman yang selalu diberikan seorang Sugawara Koushi kepada timnya. Diam-diam masuk ke dalam daftar alasan Oikawa Tooru semakin membenci Karasuno.

Ya, ia benci melihat bagaimana Karasuno bisa mendapat senyum hangat itu tanpa pernah mensyukurinya. Dasar kumpulan bajingan tak tahu terima kasih.

Setelah beberapa detik mereka terjaga dengan kesenyapan, Oikawa akhirnya kembali menemukan suaranya. “A-aku tidak mengagumkan.” sahutnya kemudian, dan merasa ingin membenturkan kepalanya ke dinding sepersekian detik setelah mendengar suaranya yang tergagap. Bodoh sekali.

Yang terburuk adalah Oikawa bisa mendengar suara tawa teman-teman setimnya yang sudah pasti akan mengoloknya jika mendengar jawabannya kala itu. Jawaban yang sama sekali bukan gayanya.

Atau setidaknya, gayanya yang selama ini selalu ditampakkan olehnya di depan semua orang.

Namun kini Sugawara Koushi menjadi pengecualian karena menjadi satu-satunya orang yang melihat betapa tidak keren dirinya. Dan, Sugawara hanya membutuhkan satu kalimat untuk membuatnya menjadi seperti itu.

Sungguh, ini bukanlah kali pertamanya disebut mengagumkan oleh orang lain. Tapi, ini adalah kali pertamanya mendengar pujian itu dari Sugawara Koushi. Terlebih lagi, pujian itulah ucapan pertama yang pernah dikatakan Sugawara kepada dirinya. Jangan lupakan ketulusan yang begitu terasa dari kalimatnya. Semua itu membuat Oikawa lupa seperti apa dirinya selama ini di mata semua orang.

Mendengar balasan kikuk Oikawa atas pujiannya, senyum Sugawara melebar hingga deretan giginya terlihat. Saat itu Sugawara sejujurnya cukup terkejut melihat Oikawa Tooru menampakkan sisi yang sama sekali berbeda dengan apa yang dipikirkannya selama ini.

Sugawara mematikan keran, lalu berbalik dan memandang Oikawa secara langsung. Tidak lagi melalui perantara cermin. Kehangatan pada mata laki-laki itu begitu terpancar dan melebur sedikit demi sedikit dalam diri Oikawa. Merasuk perlahan ke dalam jiwanya yang menggigil dan kelelahan.

Untuk pertama kalinya di hari itu Oikawa merasa bisa bernapas lega.

“Tidak. Kau memang sangat mengagumkan, Oikawa.” ujar Sugawara lembut. “Jika aku harus berkata jujur, kau adalah seseorang yang paling pasti mendapat apa pun yang terbaik di dunia ini. Sebab, aku belum pernah melihat seseorang yang lebih bekerja keras dibandingkan dirimu. Kau bahkan lebih membenci dirimu sendiri dibandingkan musuh-musuhmu. Seseorang yang keras terhadap dirinya sendiri adalah mereka yang suka melampaui batas. Jadi, bagaimana bisa kau tidak mengagumkan?”

Tangan Oikawa terkepal kuat. Ia sedikit menunduk. Matanya terpejam. Ia berusaha fokus untuk mengenyahkan rasa nyaman yang ditimbulkan Sugawara pada dirinya, dan menjawab dengan suara skeptis yang penuh cemoohan. “Tapi aku kalah, Sugawara. Aku tidak pernah menang.”

“Tidak ada yang mengatakan bahwa seseorang yang mengagumkan tidak pernah gagal. Mereka mengagumkan karena mereka tidak pernah menyerah.” Oikawa tercenung ketika mendengar perkataan Sugawara. Ia kembali mengangkat wajah, bersamaan dengan Sugawara yang kembali bersuara. “Lagipula semua orang mengakuimu. Kau adalah salah satu dari yang terbaik. Aku tahu mungkin kata-kataku terdengar seperti angin lalu sekarang, tapi aku hanya ingin kau tahu bahwa kau mengagumkan dan aku harap kau mau mengakuinya.”

Oikawa masih saja tertegun di tempatnya membatu. Ia tidak menanggapi ucapan Sugawara. Tidak, ia belum cukup mampu untuk menanggapi kata-kata yang kini terasa seperti menenggelamkannya dalam perasaan yang begitu asing.

Apakah seperti ini rasanya bahagia menerima pujian yang begitu tulus dan bersungguh-sungguh? Membuatnya merasa seolah bisa melakukan apa pun dan dunia tidaklah hancur seperti bayangannya.

Oikawa suka perasaan itu.

Terlalu suka.

Sugawara terus memerhatikan Oikawa yang masih saja tidak memberikan respon. Sampai akhirnya ia menyadari satu hal. Fakta bahwa dirinya baru saja bersikap tidak sopan. “Oh! Maaf jika aku terdengar sok akrab, Oikawa! Aku tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman...”

“Tidak! Tidak! Tidak sama sekali!” Oikawa tanpa sadar melangkah mendekat. Oh, gawat. Terlalu dekat. Tapi sayangnya, Oikawa tidak ingin mundur. “Aku... sangat berterimakasih atas kata-katamu. Terima kasih banyak, Sugawara. Ucapanmu membuatku merasa... hmm... yah, kau tahu, lebih baik. Sebenarnya jauh lebih dalam dari sekadar lebih baik. Aku seperti... bisa bernapas.”

Saat menyadari perkataannya terdengar begitu payah dan putus asa, wajah Oikawa memerah karena malu. Ia kembali merasakan kepanikan. “M-maksudku aku—aku sangat bersyukur atas kata-katamu. Sekali lagi, terima kasih.”

Untuk sesaat Sugawara tertegun karena bingung melihat tanggapan Oikawa. Ia masih terus menatap wajah Oikawa yang semakin merah hingga ke telinga dan kini sedang memandang ke arah lain dengan salah tingkah. Namun kemudian, Sugawara tertawa. Manis. Sangat manis hingga Oikawa nyaris lupa diri.

“Aku senang mendengarnya.” ucap Sugawara bersama senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya.

Senyuman tulus pertama Oikawa di hari itu merekah. Tanpa dirinya sendiri menyadarinya. Ia hanya terlalu terpaku di dalam dunianya detik itu.

Dunianya dengan Sugawara Koushi di dalamnya. Walau hanya untuk sementara. Hanya beberapa detik. Detik-detik yang disyukurinya.

Sejujurnya Oikawa selalu memiliki ketertarikan yang tidak ingin diakuinya terhadap Sugawara sejak pertama kali melihat bagaimana wakil kapten Karasuno itu berhasil mengubah atmosfer pertandingan.

Seseorang yang sesegar pagi hari. Seseorang yang secerah matahari. Seseorang yang sejauh angan. Seseorang yang membuat Oikawa bertanya-tanya bagaimana rasanya diselamatkan.

Dan akhirnya, Oikawa merasakannya.

Sugawara telah menyelamatkannya hari itu. Menyelamatkannya dari kehilangan dirinya sendiri. Sugawara menemukannya meski sebenarnya laki-laki itu tidak harus melakukannya.

Namun Oikawa tahu. Itulah Sugawara Koushi.

Beberapa saat kemudian mereka akhirnya melangkah keluar dari toilet, berjalan beriringan di lorong menuju tim mereka masing-masing. Untuk sesaat Oikawa ingin sekali menghentikan waktu agar ia memiliki lebih banyak kesempatan untuk berbicara dengan Sugawara.

Ia tahu itu tak mungkin. Itulah sebabnya Oikawa akan menciptakan kesempatannya sendiri. Selama ini ia sudah menutup mata terhadap bagaimana ia memandang Sugawara. Ia tidak ingin melakukan hal itu lagi.

Ia akan menunjukkan pada Sugawara bahwa ia memang sekeren apa yang selama ini dipikirkan semua orang. Ia akan menunjukkan pada Sugawara bahwa laki-laki itu tidak salah menilai mengenai dirinya. Bahwa ia memang mengagumkan.

Setidaknya cukup mengagumkan untuk bisa meluluhkan seorang Sugawara Koushi. Semoga.

Kesempatan Oikawa semakin menipis ketika tepat di hadapannya para pemain Karasuno mulai tampak. Jantung Oikawa menghentak keras di balik dadanya hingga ia takut Sugawara juga mendengarnya. Adrenalin dalam diri Oikawa berpacu di dalam darahnya, dan semakin memompa jantungnya ketika akhirnya ia menghentikan langkah Sugawara dengan menggenggam pergelangan tangannya.

“Sugawara, tunggu sebentar.” Oikawa berkata dengan pembawaan yang tenang. Sungguh bertolak belakang dengan apa yang terjadi di dalam sana. Di dalam dirinya.

“Ada apa?” tanya Sugawara yang tidak pernah kehilangan keramahannya. Sama sekali tidak tampak terpengaruh dengan genggaman Oikawa, membuat Oikawa ingin sekali tersenyum pedih melihatnya.

“Hmm... Bolehkah aku meminta ID Line-mu?” Sebelum Sugawara sempat berpikir macam-macam, Oikawa kembali melanjutkan. “Sebenarnya salah seorang keponakanku adalah penggemarmu. Dia pernah melihatmu di pertandingan sebelumnya. Hari ini dia ulang tahun dan... aku harap kau bisa mengucapkan selamat ulang tahun untuknya melalui panggilan telepon.”

Sugawara terlihat sangat terkejut. Tapi, lagi-lagi Sugawara belum sempat memberikan reaksi apa pun, Oikawa sudah kembali bersuara. “Jika kau keberatan, tentu saja tidak masalah. Aku tidak memaksa hehehe...” Oikawa memberikan kekehan salah tingkahnya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Astaga, padahal sebelumnya ia ingin menunjukkan betapa memesona dirinya. Tapi apa ini? Memalukan.

Tanpa diduga-duga Sugawara tertawa. Begitu renyah dan lembut di saat yang sama. Oikawa sampai bertanya-tanya, bagaimana bisa seseorang bisa memiliki tawa semenyenangkan itu?

Tetapi yang berikutnya terjadi jauh lebih mengejutkan Oikawa. Ketika tepat di depan matanya Sugawara mulai mengeluarkan ponsel dari saku celananya, lalu kembali menatap Oikawa dan bertanya, “Apa ID Line-mu?”

Oikawa berteriak kencang di dalam batinnya. Ia ingin melompat salto jika bisa. Astaga, Oikawa bahkan ingin menertawai dirinya sendiri karena menyadari bagaimana konyol ia saat ini.

Bayangkan saja, beberapa saat lalu ia merasa dunianya runtuh, lalu sekarang ia bisa membayangkan berjalan pulang sambil bersenandung dengan senyum di wajah dan hati membuncah senang.

Aneh sekali, bukan? Hidup memang penuh misteri.

Setelah berdeham sejenak, Oikawa menyebutkan ID Line-nya pada Sugawara. Sugawara kemudian menambahkan kontak Oikawa dalam pertemanannya. Ketika Oikawa tengah menatap layar ponselnya untuk turut menambahkan kontak Sugawara pada daftar temannya, Sugawara bertanya, “Siapa nama keponakanmu?”

“Hara.” sahut Oikawa, kembali memandang Sugawara.

Sugawara mengangguk. “Baiklah. Hara, selamat ulang tahun. Aku harap kau menjadi seseorang yang selalu hidup bahagia.”

“Dia akan lebih bahagia jika mendengarnya langsung darimu. Jika tidak hanya melalui panggilan telepon, maukah kau datang ke rumahku setelah pertandinganmu besok selesai?” Oikawa tahu ia sangat nekat. Tapi, tidak ada salahnya mencoba peruntungannya, bukan?

Rupanya peruntungan Oikawa membaik setelah takdir menjungkirbalikkan dunianya.

Sebab, Sugawara akhirnya mengangguk.

***

Suara sorakan penonton bergaung hebat di seluruh stadion. Oikawa Tooru memandang ke sekitarnya. Memerhatikan bagaimana ekspresi suka cita memenuhi wajah banyak orang. Di baris penonton, di pinggir lapangan, juga pada wajah para pemain voli pria SMA Karasuno.

Segalanya berjalan begitu membahagiakan. Begitu penuh dengan kesenangan tak tergambarkan. Tapi, di sanalah ia, termenung dengan wajah tanpa ekspresinya memandangi setiap senyum dan tawa yang sama sekali bukan miliknya ataupun anggota tim volinya.

Di sanalah Oikawa membisu dan menyaksikan bagaimana telinganya perlahan menuli dan sekitarnya berubah menjadi gambaran bisu yang bergerak dalam mode lambat. Di sanalah Oikawa berdiri dalam kegamangan melihat seluruh dunia terus berputar dan berbahagia meski dirinya tak ikut merasakannya.

Di sanalah dirinya menyaksikan betapa tak ada yang peduli bagaimana hancur dunia seorang Oikawa Tooru.

Ia hancur.

Ia adalah kapten terburuk yang selalu gagal membawa kemenangan bagi timnya.

Selalu gagal.

Selalu.

Mungkin dewa memang membencinya dan mengutuk setiap detik dirinya bernapas dalam kehidupan ini. Sehingga sekeras apa pun ia berlatih, sebanyak apa pun ia berdarah-darah, sehebat apa pun ia memimpin timnya, kejuaraan nasional tak pernah menjadi jalan hidup yang diberikan takdir untuknya.

Dan bahkan, langkahnya semakin jauh sekarang.

Ya, mungkin ia memang dibenci kehidupan.

Kau terlalu keras pada dirimu. Kaulah yang paling tidak memaafkan dirimu sendiri, Oikawa.” Itulah kalimat yang selama ini selalu didengar Oikawa dari Iwaizumi setiap kali tim mereka kalah dari Akademi Shiratorizawa. Tapi, entah berapa kalipun ia mendengarnya, semakin keras dan dingin ia terhadap dirinya sendiri. Tanpa ia sadari.

Saat itu Iwaizumi untuk pertama kalinya tidak mengatakan apa pun. Ia hanya memandang Oikawa yang tengah membasuh wajahnya dengan air mengalir di wastafel toilet stadion, memerhatikannya dalam hening dengan matanya yang sembab.

Ketika Oikawa mengangkat wajah dan menatapnya melalui cermin, Iwaizumi menepuk bahu temannya itu sejenak sebelum akhirnya melangkah keluar. Ia membayar tepukan yang beberapa saat lalu diberikan Oikawa di punggungnya untuk memberinya semangat.

Oikawa sendiri di sana. Terjaga dalam bisu yang terasa tanpa akhir. Dalam keheningan itu, Oikawa menyadari satu hal. Dunia yang sunyi terasa lebih baik. Dalam sunyi, hatinya tak lagi merasakan gejolak perasaan yang begitu dibencinya. Berbagai perasaan akibat kekalahannya.

Kalah.

Oikawa benci kata itu.

Namun, ia lebih benci pada dirinya sendiri.

Pintu toilet tiba-tiba terbuka, menampakkan sosok dengan rambut kelabu yang kemudian terpaku di ambang pintu saat bertemu pandang dengan mata cokelat Oikawa. Oikawa tidak bereaksi ketika tepat di hadapannya, Sugawara Koushi berdiri sembari menatapnya.

Oikawa mengalihkan pandangan ketika Sugawara mulai berjalan masuk dengan senyum canggung terulas di wajahnya. Ia sama sekali tidak membalas senyum Sugawara, pun memperlihatkan bahwa dirinya tidak memiliki kepedulian terhadap hal itu sedikit pun.

Dan, ia sama sekali tidak senang melihat Sugawara berada di sana.

Sugawara Koushi adalah orang terakhir yang ia harap melihat sisi terburuknya seperti saat ini.

Oh, hari ini menjadi semakin sempurna untuk dibenci.

Oikawa kembali membasuh wajahnya bersamaan dengan Sugawara yang kini tengah mencuci tangan di wastafel tepat di sampingnya. Tanpa Oikawa sadari, Sugawara memerhatikannya melalui sudut mata. Keadaan semakin canggung dan memalukan, Oikawa ingin cepat-cepat pergi dari sana.

Dengan wajah dan rambut bagian depan yang basah, Oikawa mulai melangkah mundur dan sudah akan berjalan pergi dari sana. Tapi, entah apa yang dipikirkan setter Karasuno itu sehingga memutuskan untuk mengatakan sesuatu yang tak pernah dibayangkan Oikawa akan ia dengar dari laki-laki itu.

“Kau sangat mengagumkan, Oikawa.”

Tentu saja kalimat itu berhasil menghentikan gerakan Oikawa yang akan meraih gagang pintu. Ia membalikkan tubuhnya, memandang Sugawara yang melihatnya melalui cermin. Mereka berbagi tatap dalam hening yang begitu menyesakkan.

Setidaknya bagi Oikawa dan jantung konyolnya.

Di saat Oikawa belum pulih dari keterkejutannya, Sugawara mengulaskan sebuah senyuman hangat. Senyuman yang selama ini selalu dilihat Oikawa dari jauh. Senyuman yang selalu diberikan seorang Sugawara Koushi kepada timnya. Diam-diam masuk ke dalam daftar alasan Oikawa Tooru semakin membenci Karasuno.

Ya, ia benci melihat bagaimana Karasuno bisa mendapat senyum hangat itu tanpa pernah mensyukurinya. Dasar kumpulan bajingan tak tahu terima kasih.

Setelah beberapa detik mereka terjaga dengan kesenyapan, Oikawa akhirnya kembali menemukan suaranya. “A-aku tidak mengagumkan.” sahutnya kemudian, dan merasa ingin membenturkan kepalanya ke dinding sepersekian detik setelah mendengar suaranya yang tergagap. Bodoh sekali.

Yang terburuk adalah Oikawa bisa mendengar suara tawa teman-teman setimnya yang sudah pasti akan mengoloknya jika mendengar jawabannya kala itu. Jawaban yang sama sekali bukan gayanya.

Atau setidaknya, gayanya yang selama ini selalu ditampakkan olehnya di depan semua orang.

Namun kini Sugawara Koushi menjadi pengecualian karena menjadi satu-satunya orang yang melihat betapa tidak keren dirinya. Dan, Sugawara hanya membutuhkan satu kalimat untuk membuatnya menjadi seperti itu.

Sungguh, ini bukanlah kali pertamanya disebut mengagumkan oleh orang lain. Tapi, ini adalah kali pertamanya mendengar pujian itu dari Sugawara Koushi. Terlebih lagi, pujian itulah ucapan pertama yang pernah dikatakan Sugawara kepada dirinya. Jangan lupakan ketulusan yang begitu terasa dari kalimatnya. Semua itu membuat Oikawa lupa seperti apa dirinya selama ini di mata semua orang.

Mendengar balasan kikuk Oikawa atas pujiannya, senyum Sugawara melebar hingga deretan giginya terlihat. Saat itu Sugawara sejujurnya cukup terkejut melihat Oikawa Tooru menampakkan sisi yang sama sekali berbeda dengan apa yang dipikirkannya selama ini.

Sugawara mematikan keran, lalu berbalik dan memandang Oikawa secara langsung. Tidak lagi melalui perantara cermin. Kehangatan pada mata laki-laki itu begitu terpancar dan melebur sedikit demi sedikit dalam diri Oikawa. Merasuk perlahan ke dalam jiwanya yang menggigil dan kelelahan.

Untuk pertama kalinya di hari itu Oikawa merasa bisa bernapas lega.

“Tidak. Kau memang sangat mengagumkan, Oikawa.” ujar Sugawara lembut. “Jika aku harus berkata jujur, kau adalah seseorang yang paling pasti mendapat apa pun yang terbaik di dunia ini. Sebab, aku belum pernah melihat seseorang yang lebih bekerja keras dibandingkan dirimu. Kau bahkan lebih membenci dirimu sendiri dibandingkan musuh-musuhmu. Seseorang yang keras terhadap dirinya sendiri adalah mereka yang suka melampaui batas. Jadi, bagaimana bisa kau tidak mengagumkan?”

Tangan Oikawa terkepal kuat. Ia sedikit menunduk. Matanya terpejam. Ia berusaha fokus untuk mengenyahkan rasa nyaman yang ditimbulkan Sugawara pada dirinya, dan menjawab dengan suara skeptis yang penuh cemoohan. “Tapi aku kalah, Sugawara. Aku tidak pernah menang.”

“Tidak ada yang mengatakan bahwa seseorang yang mengagumkan tidak pernah gagal. Mereka mengagumkan karena mereka tidak pernah menyerah.” Oikawa tercenung ketika mendengar perkataan Sugawara. Ia kembali mengangkat wajah, bersamaan dengan Sugawara yang kembali bersuara. “Lagipula semua orang mengakuimu. Kau adalah salah satu dari yang terbaik. Aku tahu mungkin kata-kataku terdengar seperti angin lalu sekarang, tapi aku hanya ingin kau tahu bahwa kau mengagumkan dan aku harap kau mau mengakuinya.”

Oikawa masih saja tertegun di tempatnya membatu. Ia tidak menanggapi ucapan Sugawara. Tidak, ia belum cukup mampu untuk menanggapi kata-kata yang kini terasa seperti menenggelamkannya dalam perasaan yang begitu asing.

Apakah seperti ini rasanya bahagia menerima pujian yang begitu tulus dan bersungguh-sungguh? Membuatnya merasa seolah bisa melakukan apa pun dan dunia tidaklah hancur seperti bayangannya.

Oikawa suka perasaan itu.

Terlalu suka.

Sugawara terus memerhatikan Oikawa yang masih saja tidak memberikan respon. Sampai akhirnya ia menyadari satu hal. Fakta bahwa dirinya baru saja bersikap tidak sopan. “Oh! Maaf jika aku terdengar sok akrab, Oikawa! Aku tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman...”

“Tidak! Tidak! Tidak sama sekali!” Oikawa tanpa sadar melangkah mendekat. Oh, gawat. Terlalu dekat. Tapi sayangnya, Oikawa tidak ingin mundur. “Aku... sangat berterimakasih atas kata-katamu. Terima kasih banyak, Sugawara. Ucapanmu membuatku merasa... hmm... yah, kau tahu, lebih baik. Sebenarnya jauh lebih dalam dari sekadar lebih baik. Aku seperti... bisa bernapas.”

Saat menyadari perkataannya terdengar begitu payah dan putus asa, wajah Oikawa memerah karena malu. Ia kembali merasakan kepanikan. “M-maksudku aku—aku sangat bersyukur atas kata-katamu. Sekali lagi, terima kasih.”

Untuk sesaat Sugawara tertegun karena bingung melihat tanggapan Oikawa. Ia masih terus menatap wajah Oikawa yang semakin merah hingga ke telinga dan kini sedang memandang ke arah lain dengan salah tingkah. Namun kemudian, Sugawara tertawa. Manis. Sangat manis hingga Oikawa nyaris lupa diri.

“Aku senang mendengarnya.” ucap Sugawara bersama senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya.

Senyuman tulus pertama Oikawa di hari itu merekah. Tanpa dirinya sendiri menyadarinya. Ia hanya terlalu terpaku di dalam dunianya detik itu.

Dunianya dengan Sugawara Koushi di dalamnya. Walau hanya untuk sementara. Hanya beberapa detik. Detik-detik yang disyukurinya.

Sejujurnya Oikawa selalu memiliki ketertarikan yang tidak ingin diakuinya terhadap Sugawara sejak pertama kali melihat bagaimana wakil kapten Karasuno itu berhasil mengubah atmosfer pertandingan.

Seseorang yang sesegar pagi hari. Seseorang yang secerah matahari. Seseorang yang sejauh angan. Seseorang yang membuat Oikawa bertanya-tanya bagaimana rasanya diselamatkan.

Dan akhirnya, Oikawa merasakannya.

Sugawara telah menyelamatkannya hari itu. Menyelamatkannya dari kehilangan dirinya sendiri. Sugawara menemukannya meski sebenarnya laki-laki itu tidak harus melakukannya.

Namun Oikawa tahu. Itulah Sugawara Koushi.

Beberapa saat kemudian mereka akhirnya melangkah keluar dari toilet, berjalan beriringan di lorong menuju tim mereka masing-masing. Untuk sesaat Oikawa ingin sekali menghentikan waktu agar ia memiliki lebih banyak kesempatan untuk berbicara dengan Sugawara.

Ia tahu itu tak mungkin. Itulah sebabnya Oikawa akan menciptakan kesempatannya sendiri. Selama ini ia sudah menutup mata terhadap bagaimana ia memandang Sugawara. Ia tidak ingin melakukan hal itu lagi.

Ia akan menunjukkan pada Sugawara bahwa ia memang sekeren apa yang selama ini dipikirkan semua orang. Ia akan menunjukkan pada Sugawara bahwa laki-laki itu tidak salah menilai mengenai dirinya. Bahwa ia memang menakjubkan.

Setidaknya cukup menakjubkan untuk bisa meluluhkan seorang Sugawara Koushi. Semoga.

Kesempatan Oikawa semakin menipis ketika tepat di hadapannya para pemain Karasuno mulai tampak. Jantung Oikawa menghentak keras di balik dadanya hingga ia takut Sugawara juga mendengarnya. Adrenalin dalam diri Oikawa berpacu di dalam darahnya, dan semakin memompa jantungnya ketika akhirnya ia menghentikan langkah Sugawara dengan menggenggam pergelangan tangannya.

“Sugawara, tunggu sebentar.” Oikawa berkata dengan pembawaan yang tenang. Sungguh bertolak belakang dengan apa yang terjadi di dalam sana. Di dalam dirinya.

“Ada apa?” tanya Sugawara yang tidak pernah kehilangan keramahannya. Sama sekali tidak tampak terpengaruh dengan genggaman Oikawa, membuat Oikawa ingin sekali tersenyum pedih melihatnya.

“Hmm... Bolehkah aku meminta ID Line-mu?” Sebelum Sugawara sempat berpikir macam-macam, Oikawa kembali melanjutkan. “Sebenarnya salah seorang keponakanku adalah penggemarmu. Dia pernah melihatmu di pertandingan sebelumnya. Hari ini dia ulang tahun dan... aku harap kau bisa mengucapkan selamat ulang tahun untuknya melalui panggilan telepon.”

Sugawara terlihat sangat terkejut. Tapi, lagi-lagi Sugawara belum sempat memberikan reaksi apa pun, Oikawa sudah kembali bersuara. “Jika kau keberatan, tentu saja tidak masalah. Aku tidak memaksa hehehe...” Oikawa memberikan kekehan salah tingkahnya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Astaga, padahal sebelumnya ia ingin menunjukkan betapa memesona dirinya. Tapi apa ini? Memalukan.

Tanpa diduga-duga Sugawara tertawa. Begitu renyah dan lembut di saat yang sama. Oikawa sampai bertanya-tanya, bagaimana bisa seseorang bisa memiliki tawa semenyenangkan itu?

Tetapi yang berikutnya terjadi jauh lebih mengejutkan Oikawa. Ketika tepat di depan matanya Sugawara mulai mengeluarkan ponsel dari saku celananya, lalu kembali menatap Oikawa dan bertanya, “Apa ID Line-mu?”

Oikawa berteriak kencang di dalam batinnya. Ia ingin melompat salto jika bisa. Astaga, Oikawa bahkan ingin menertawai dirinya sendiri karena menyadari bagaimana konyol ia saat ini.

Bayangkan saja, beberapa saat lalu ia merasa dunianya runtuh, lalu sekarang ia bisa membayangkan berjalan pulang sambil bersenandung dengan senyum di wajah dan hati membuncah senang.

Aneh sekali, bukan? Hidup memang penuh misteri.

Setelah berdeham sejenak, Oikawa menyebutkan ID Line-nya pada Sugawara. Sugawara kemudian menambahkan kontak Oikawa dalam pertemanannya. Ketika Oikawa tengah menatap layar ponselnya untuk turut menambahkan kontak Sugawara pada daftar temannya, Sugawara bertanya, “Siapa nama keponakanmu?”

“Hara.” sahut Oikawa, kembali memandang Sugawara.

Sugawara mengangguk. “Baiklah. Hara, selamat ulang tahun. Aku harap kau menjadi seseorang yang selalu hidup bahagia.”

“Dia akan lebih bahagia jika mendengarnya langsung darimu. Jika tidak hanya melalui panggilan telepon, maukah kau datang ke rumahku setelah pertandinganmu besok selesai?” Oikawa tahu ia sangat nekat. Tapi, tidak ada salahnya mencoba peruntungannya, bukan?

Rupanya peruntungan Oikawa membaik setelah takdir menjungkirbalikkan dunianya.

Sebab, Sugawara akhirnya mengangguk.

***