➖nOTeD

Mungkin sudah sekitar dua puluh menit—tidak, memang sudah dua puluh menit. Satoru yakin itu. Ia menghitungnya.

Ya, sudah dua puluh menit Utahime yang duduk di sisi Satoru di ruang TV, sibuk dengan ponselnya bersama senyum yang ingin sekali dikutuk Satoru saat melihatnya.

Bukan. Bukan karena ia tidak menyukai senyum itu. Justru sebaliknya, Utahime terlihat menggemaskan jika Satoru boleh—atau setidaknya, mau jujur. Tapi mengetahui alasan di balik senyum itulah yang menjadi masalah terbesarnya ingin mengutuk keberadaan senyum itu.

Sebab, apa-apaan senyum malu-malu itu? Sungguh, Satoru tidak pernah tahu bahwa Utahime bisa memiliki senyum semacam itu. Sebenarnya apa bagusnya melihat video tidak jelas itu?

Ayolah, di samping Utahime ada laki-laki tertampan sejagat raya dengan mata biru seindah langit cerah dan rambut putih yang selembut awan! Bagaimana bisa Utahime malah tidak mengacuhkannya?

“Ih, ngapain, sih, cengengesan begitu?” Akhirnya Satoru berkomentar ketus sembari melirik ponsel Utahime yang masih menampilkan video TikTok “tidak bermutu” yang semakin membuatnya jengkel sendiri.

Utahime melirik Satoru sekilas, lalu kembali sibuk dengan ponselnya. “Ya emang kenapa, sih? Orang lucu,” balasnya tanpa rasa peduli.

“Gue bisa juga kali ngegombal kayak gitu.”

Kali ini Utahime menatap Satoru sepenuhnya, tampak heran. “Terus gue nanya nggak?”

“Nggak tau, ah!” Satoru segera membuang muka. Wajahnya terlihat sebal. Bibirnya mengerucut dan tampaknya banyak umpatan yang tidak diucapkannya.

Sungguh, Utahime terkejut melihat bagaimana kala itu Satoru terlihat seperti... seperti pacar yang merajuk. Tidak. Lebih tepatnya, pacar yang cemburu dan sedang mencari perhatian? Sungguh, Satoru memang tidak pernah gagal membuat Utahime heran dengan perilaku anehnya.

“Hah? Lo kenapa, sih?” tanya Utahime kemudian, namun Satoru tidak terlihat ingin menjawabnya dan berpura-pura sibuk dengan tontonannya di televisi. Walau sebenarnya ia bahkan tidak tahu apa yang sedang ditontonnya saat itu.

Baru saja Utahime akan kembali fokus pada ponselnya, Mei Mei memasuki ruang TV bersama Shoko. Keduanya baru saja kembali dari halaman belakang, di mana Toji, Kento, Ryo, dan Suguru sedang mengobrol di gazebo sambil merokok. Sebenarnya mereka juga diam-diam berusaha memberi Utahime dan Satoru waktu berdua saat tahu keduanya sedang berada di ruang TV.

Bukan tanpa alasan. Mereka ingin menjadi teman serumah yang baik dan pengertian.

Mei Mei dan Shoko masing-masing duduk di sofa lain yang diperuntukkan untuk satu orang. Desahan panjang keluar dari mulut Mei Mei. Ia berkata, “Lusa gue ada undangan nikah. Pake baju apa, ya?”

“Baju lo seabrek-abrek gitu, masih bingung mau pake apaan?” tanggap Shoko, sedikit jengah.

Dress yang lo beli waktu itu lucu,” celetuk Utahime. “Yang warna baby pink itu. Belum pernah dipake, kan?”

“Oh iya, bener. Gue belum sempet pake itu. Nanti gue coba, ah. Kayaknya cocok juga sama tempat acaranya.”

“Acaranya di gedung?” Shoko bertanya kemudian.

Mei Mei menggeleng. “Outdoor. Di pinggir pantai gitu. Lucu, kan? Gue jarang banget dapet undangan yang selain di gedung kayak gini.”

Saat keadaan hening sesaat, suara gumaman Utahime terdengar jelas di telinga semua orang. “Gue juga pengin...”

Tanggapan datang dari Mei Mei yang tidak paham apa konteks ucapan Utahime saat itu. “Pengin apa? Dateng?”

“Pengin nikah.”

Setelah jawaban Utahime menguar di ruang itu, semua mendadak diam. Tentu tidak berlangsung lama, karena Shoko dan Mei Mei langsung tersenyum geli sambil menyemangati. Tapi, tanggapan Satoru sungguh berbeda dari kedua gadis itu.

“Apa maksudnya pengin nikah? Udah deh, nggak usah ikut-ikutan.” Satoru menukasi, ekspresinya gusar. Ia menatap Utahime dengan alis mengerut. Sama sekali tidak terlihat senang.

Astaga, ada masalah apa dengan laki-laki itu sejak tadi? Utahime tidak bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya-tanya.

Ikut merasa sebal melihat sikap Satoru saat itu, Utahime membalas dengan ketajaman dalam suaranya yang sarat akan banyak kebingungan atas tanggapan laki-laki itu. “Dih? Apa, sih? Emang kenapa? Suka-suka gue, dong.”

Keadaan untuk sesaat berubah sunyi. Entah Shoko maupun Mei Mei, keduanya tidak memiliki keinginan untuk menginterupsi. Mereka justru berencana menikmati suasana saat itu dalam diam. Diam yang menyimpan ribuan tawa menggoda.

Namun kemudian, suara lirih terdengar memenuhi udara. “... Sama siapa?” Suara yang sangat lirih hingga memaksa Shoko dan Mei Mei untuk mencondongkan tubuh mereka itu berasal dari Satoru.

Utahime mengerutkan alis sambil memiringkan kepalanya, sinar matanya penuh tanya. “Hah?”

“Mau nikah sama siapa?”

Sepersekian detik setelah pertanyaan yang akhirnya terdengar lebih jelas dan tegas itu terdengar, Shoko dan Mei Mei langsung membekap bibir mereka dengan tangan. Mereka berusaha menahan segala teriakan yang ingin sekali keluar akibat ucapan Satoru.

Utahime pun tidak lebih baik. Ia terlihat terkejut saat mendengarnya. Ada dorongan dalam diri gadis itu untuk terperangah dengan mulut menganga. Tapi akhirnya ia hanya menatap ke arah lain dan menyahut, “Rahasia.”

Mata Satoru seketika membulat. Kali ini berganti dirinya yang dibuat terkejut. Lebih terkejut dari siapa pun di ruangan itu. Ia bahkan tidak bisa menahan nada tinggi pada suaranya. “LO UDAH TAU MAU NIKAH SAMA SIAPA?!!”

Ketika Satoru berusaha untuk melihat wajah Utahime, Utahime justru semakin enggan untuk menatap laki-laki itu. Entah apa alasannya. Utahime hanya merasa tidak nyaman. Seperti malu. Padahal ia tidak melakukan hal memalukan.

Di saat Satoru masih berusaha untuk melihat wajahnya, Utahime tetap berusaha menghindar. Di saat yang sama, ia menyergah jengkel. “Rahasia! Cerewet lo, ah!”

Akhirnya Satoru memegang pundak Utahime, dan gadis itu secara otomatis menatap Satoru. “Siapa, nggak?!” Satoru masih mendesak Utahime untuk menjawab, sama sekali tidak sadar bahwa sentuhannya pada pundak gadis itu berhasil memberi desir asing yang mati-matian ingin ditampik.

Untuk mengalihkan diri dari keanehan pada dirinya sendiri, Utahime kembali berseru. “A-apaan, sih? Kepo banget!”

“Sama Satoru, ya? Hahaha...” Mei Mei akhirnya ikut bersuara, yang segera memancing tawa terbahak dari Shoko. Sungguh bertolak belakang dengan apa yang dirasakan Utahime yang merasa intensitas beban dari atmosfer di sekitarnya kian bertambah dan membuatnya tidak bisa bernapas lega.

“Apa, sih, Mei?!” hardik Utahime, kesal.

Satoru terdiam. Mendadak tenang seolah tak pernah bersikap konyol beberapa detik lalu. Nyaris membuat Utahime kagum dengan betapa pandai laki-laki itu mengendalikan dirinya.

Satoru menatap Utahime selama beberapa saat, membuat Utahime diam-diam menyimpan kegugupan karena lekatnya tatapan dari mata biru itu. Hingga akhirnya suara Satoru kembali terdengar, seiring dengan terlepasnya tangan laki-laki itu dari pundaknya. “Emang mau nikah kapan?”

Utahime mengerjap sesaat. “Hm? Sepuluh tahun lagi?” sahutnya kemudian, tidak yakin pada jawabannya sendiri.

Tetapi, Satoru tersenyum. Lalu mengangguk. “Noted.”

“LAH, KOK 'NOTED'? MAKSUDNYA GIMANAAA??” Shoko merasa dirinya hampir gila saat mendengar jawaban Satoru. Shoko bahkan nyaris histeris jika Utahime tidak melemparnya dengan bantal sofa yang tepat mendarat pada wajahnya.

Satoru terkekeh samar dengan pembawaan yang terlampau ambigu bagi Shoko yang sudah menaruh ekspektasi tinggi atas kalimatnya. Sementara Mei Mei, gadis itu hanya diam dan menyimpan banyak pemikiran yang tidak ingin dibaginya untuk saat ini.

Kemudian Satoru menoleh pada Utahime yang juga tengah menatapnya. Pupil dari mata karamel gadis itu melebar saat Satoru bertemu pandang dengannya. Senyum tersungging sempurna di bibir laki-laki itu.

“Maksudnya gue bakal ada di pernikahan Utahime sepuluh tahun lagi.”

Ada.

Ada sebagai apa?

Entahlah. Utahime tidak ingin membebankan diri dengan memikirkan perkataan Satoru detik itu. Namun, tatapan mata Satoru sangat mengganggunya. Apakah makna dari langit biru itu sungguh seperti apa yang dipahami olehnya?

Sebab, tatapan itu seakan-akan menjanjikan banyak hal pada Utahime.

Termasuk masa depan. ▪️▫️