➖blUrry nIte
“Tadi Gin bilang apa lagi?” Satoru bertanya pada Utahime sambil memperbaiki kupluk jaket tebal yang dikenakan gadis itu. Jaket miliknya yang ia pinjamkan pada Utahime karena waktu sudah menunjukkan waktu dini hari sehingga hawa semakin dingin.
Utahime terlihat tenggelam di dalam jaket besar itu, membuat Satoru menyengir geli. Laki-laki itu diam-diam menyimpan keinginan untuk mencubit kedua pipi Utahime yang terlihat memiliki sedikit semu merah. Tapi hal terbaik yang bisa dilakukan Satoru hanyalah menepuk puncak kepala Utahime yang terbalut kupluk, tidak lebih.
“Banyak, deh.” Utahime menjawab kemudian.
“Coba sebutin, dong.”
Selama beberapa detik Utahime menatap Satoru yang duduk di sisinya, kemudian beralih memandang danau yang berada di hadapan mereka. “Dia bilang lo nggak suka gue deket-deket sama Shinya.”
Utahime bisa menebak bahwa iris biru Satoru melebar karena perkataannya, meski ia tidak melihatnya langsung sekarang. Tapi suara terbata-bata Satoru membuatnya semakin yakin bahwa laki-laki itu memang terkejut. “Ha-haaahh?? D-dia bilang gitu? Gin bilang—anjir, demi apa? Serius? Gila tuh orang. Tapi e-enggak kok, Utahime. Enggak, suwer, deh, enggak! Gue fine-fine aja lo deket sama Bang Shinya...” Suara Satoru mengecil ketika menambahkan. “...Tapi, ya, jangan terlalu deket juga, sih...”
Dengan cepat Utahime menoleh pada Satoru. Mata karamelnya menatap dengan intens. Suara tenangnya terdengar kemudian. “Emang kenapa?”
“Hah...?”
“Kenapa gue nggak boleh terlalu deket sama Shinya?”
Suasana seketika berubah senyap. Entah Satoru maupun Utahime sama-sama tidak terlihat akan memecah hening itu secepatnya. Keduanya tampak nyaman dengan diam itu, saling berusaha membaca apa yang dipikirkan satu sama lain. Saling mencoba melihat apa yang disimpan di balik ketenangan yang seolah mereka miliki.
Tapi Utahime jengkel untuk mengakui bahwa ia sungguh penasaran dengan apa yang dimiliki langit musim panas itu. Apakah memang seceria dan sehangat yang ditampakkannya? Apakah memang selugu dan seterang yang dipahaminya? Utahime ingin tahu.
Saat itu mereka tengah duduk berdampingan di sebuah kursi kayu pinggir danau. Di sana sepi karena sudah terlalu larut untuk menikmati pemandangan danau yang hanya menyimpan dingin itu. Namun entah sedingin apa pun keadaan saat itu, Utahime sama sekali tidak merasakannya. Hawa dingin sudah sepenuhnya terhalau karena jaket yang Satoru pinjamkan. Atau setidaknya, itulah yang ingin Utahime pikirkan.
Utahime menolak untuk memiliki pemikiran bahwa mata biru maupun senyum lembut Satoru adalah hal terbaik yang bisa menjaganya dari dingin. Itu terlalu berlebihan. Walau mungkin, kenyataannya memang begitu.
Tak berselang lama, Satoru akhirnya memamerkan senyum jenakanya. Bersikap seakan-akan senyum itu adalah senyum yang selama ini selalu terpatri di bibirnya ketika bergurau. “Gue bercanda, kok,” ucapnya kemudian.
Utahime memandangi senyum itu sejenak. Meski ia tidak memahami apa yang dipikirkan Satoru, setidaknya ia cukup tahu bahwa itu bukanlah senyumnya yang biasa. Tapi, Utahime berusaha mengenyahkan keingintahuan atas alasan Satoru bersikap seperti itu. “Oh, bercanda? Oke, deh.”
Setelah tanggapan Utahime, Satoru hanya mengangguk singkat. Bercanda, katanya. Utahime mengulang kalimat itu di dalam kepalanya. Berkali-kali. Dan, mulai mempertanyakan dirinya sendiri. Memangnya apa yang ia harapkan? Berharap Satoru berkata bahwa laki-laki itu cemburu melihat kedekatan Utahime dengan laki-laki lain?
Konyol!
Di sisi lain, jika seandainya Satoru memang berkata bahwa dirinya cemburu, memang Satoru memiliki hak untuk melakukan hal itu? Ini hidup Utahime. Utahime yang memutuskan ingin dekat dengan siapa. Lebih dari apa pun, Satoru bahkan bukan siapa-siapa. Jika memang mereka dapat disebut sebagai teman, tidak ada teman yang bersikap cemburu seperti itu. Satoru memahaminya dengan sangat baik.
Sekarang, dengan keadaan mereka saat ini, yang bisa dilakukan Satoru tidak banyak. Oh, lagipula jika banyak hal bisa ia lakukan, lalu apa? Apa yang akan terjadi? Memang apa yang sedang dikejarnya? Satoru bahkan tidak memahami dirinya sendiri.
Tidak. Ia bukannya tidak paham. Ia tidak ingin paham.
Berusaha mengenyahkan pikirannya yang mulai tidak jelas, Satoru menghadap tubuh Utahime. Memerhatikan apakah gadis itu terlihat kedinginan atau tidak. “Dingin, nggak?” tanyanya.
Ketika Satoru tengah merapatkan jaket yang dikenakannya, Utahime memerhatikan, dan mendengus gusar kemudian. “Mau dirapetin kayak gimana lagi, sih? Lo nggak liat ini jaket tebelnya minta ampun? Gede banget, lagi.”
Mendengar gerutuan Utahime, Satoru pun tertawa keras. Ia menyentuh puncak kepala Utahime, menyahut setelahnya. “Tuh, kebiasaan lo, ya. Diperhatiin malah ngomel. Gue, kan, nggak mau lo malah jadi masuk angin gara-gara gue. Apa mau pulang sekarang aja?”
Dengan cepat Utahime menjawab. “Nggak, nggak mau! Nanti aja. Gue jarang bisa keluar kayak gini.”
Senyum Satoru melebar. Manik birunya berbinar penuh rasa tertarik. Ia merapikan poni Utahime yang sedikit berantakan, tanpa tahu efek apa yang bisa diberikannya dari perlakuannya itu. “Ya udah, makanya nurut aja kalo gue ribet.”
“Hm,” gumam Utahime asal. Ia mengalihkan pandangan ke arah lain. Tidak ingin lebih lama menatap wajah Satoru yang masih sibuk merapikan poninya dengan tekun. Terlalu dekat. Dan—jika ia ingin jujur, terlalu tampan.
Utahime berusaha bersikap normal. Ia bahkan mencoba menulikan telinga dan mencuci otaknya sendiri agar tidak mendengar perkataan Satoru setelah itu. Perkataan Satoru yang sepertinya dimaksudkan untuk bicara pada dirinya sendiri.
“Ya ampun, poninya aja gemes banget.” Itulah yang dikatakan Satoru, yang tampaknya diucapkan tanpa sadar.
Sejujurnya Utahime sudah sering mendengar pujian semacam itu dari banyak orang. Tapi, entah apa yang membuat kata-kata Satoru terdengar lebih tulus hingga membuatnya malu sendiri.
Untuk mengalihkan perhatiannya dari rasa panas pada wajahnya, Utahime yang juga beru mengingat sesuatu akhirnya berceletuk. “Oh iya, tadi Soushi bilang, kalo lo janjiin gue sesuatu, gue baru bisa tagih janji itu tiga tahun lagi. Pas gue tanya maksudnya apa, dia malah nyuruh gue nanya lo aja.”
Satoru sudah duduk seperti semula saat itu. Setelah mendengar ucapan Utahime, ia menutup wajah dan mengutuk. “Dasar bocah gila!” Ia mengangkat wajah, menatap Utahime yang terlihat heran. “Dia serius bilang begitu?”
Utahime mengangguk. “Iya, emang kenapa, sih?”
Satoru menghela napas panjang. Laki-laki itu terlihat ragu. Ia berpikir dan menimbang sejenak bagaimana ia harus menjawab pertanyaan Utahime barusan. Tapi akhirnya, ia memilih untuk mengatakan yang sejujurnya. “Soushi, tuh, bahas soal kontrak kita sama agensi.”
“Kontrak apa?”
“Kontrak soal artis yang baru debut dilarang pacaran selama enam tahun sejak waktu debut.”
Utahime tercenung di tempatnya. Matanya melebar. Ia terlihat tidak bisa menemukan kalimat yang tepat selama beberapa saat. “Dilarang pacaran selama enam tahun? Kok gue nggak pernah denger Infinite Entertainment punya larangan kayak gitu?”
“Iya, itu emang rahasia perusahaan sebenarnya. Tapi, ya, gue pikir nggak masalah juga kalo lo tau.”
“Pantesan aja agensi lo waktu itu sampe negur lo.” Utahime berkomentar.
Satoru mengedikkan bahunya asal. Ia malas mengingat kejadian yang dikatakan Utahime. “Yah, gitu, deh. Makanya artis-artis di agensi gue biasanya nggak terlalu berinteraksi sama lawan jenis, soalnya untuk menghindari skandal.”
“Kalo sampe ada larangan kayak gitu di kontrak lo, berarti harusnya lo juga sama kayak artis-artis itu, kan? Harusnya lo nggak terlalu berinteraksi sama lawan jenis untuk menghindari skandal, kan?” tanya Utahime. Ia terlihat begitu bingung dan heran.
Satoru mengangguk. “Yup.”
Untuk beberapa saat Utahime tidak mengatakan apa pun. Ia memerhatikan Satoru yang wajahnya mulai tampak serius sekarang. Tidak ada senyum jenaka ataupun kerlingan jahilnya yang biasa.
Setelah menelan ludah sejenak untuk menghilangkan rasa kering pada tenggorokannya, Utahime kembali bersuara. “Terus kenapa lo...” Jeda sejenak, lalu, “kayak gini ke gue? Sampe lo dapet teguran segala, tapi lo tetep nggak berubah. Padahal walaupun gue bilang lo nggak perlu peduliin semua hate comment itu, lo, kan harusnya lebih dengerin agensi lo. Jadi, kenapa?”
“Kalo lo nanya kayak gitu, lo juga nanyain hal yang sama kayak gue.” Satoru memperdalam tatapannya, seolah ingin menelan Utahime di dalam langit birunya yang tidak memiliki batas. “Gue juga mempertanyakan hal yang sama. Kenapa gue nggak bisa berenti gangguin lo, ya, Utahime?”
Utahime tidak menjawab. Satoru pun tidak mengharapkan jawaban apa pun dari gadis itu. Mereka saling memandang, dan mereka tahu. Mereka tahu bahwa terlalu banyak hal yang harus mereka pertimbangkan untuk bisa menjawab setiap pertanyaan yang bersarang dalam benak mereka.
Terlalu banyak.
Akhirnya, untuk pertama kalinya, mereka dapat saling setidaknya sedikit mengerti apa yang mereka simpan di balik ketenangan satu sama lain. Ketenangan di balik sinar berbinar dari manik yang mereka tatap. Dan yang mereka temukan adalah jawaban berupa: nikmati detik ini.
Jadi, itulah yang akan mereka lakukan.
Mereka saling membagi senyum. Senyum yang hanya mereka yang pahami.
Mereka hanya diam. Diam yang menikmati kehadiran satu sama lain.
Mereka tidak harus mengetahui setiap hal sekarang. Mereka tidak perlu memiliki jawaban atas setiap pertanyaan.
Ada waktu yang terbentang panjang untuk mereka. Tidak perlu melakukannya sekarang.
Sebab sekarang, mereka tidak memilikinya. ▪️▫️