LiminalSpace


“Secre.”

Secre mengalihkan tatapan datarnya dari langit yang mulai berubah jingga, menuju manik biru yang selalu menyimpan hangat meski di hari terdingin sekalipun. Manik milik Lumiere Silvamillion.

“Ada apa, Pangeran?” Secre menyahut.

Sebuah senyum terpatri sempurna di bibir Lumiere, lembut suaranya terdengar kemudian. “Bukankah hari ini tampak indah?” tanya laki-laki itu. Ia mendongak, memandang langit dengan binaran pada mata birunya. Sementara Secre masih tetap menatap wajahnya dari samping, di bawah bayang-bayang pohon apel tua berusia lima puluh tiga tahun yang menjadi tempat mereka beristirahat sore itu.

Angin petang berhembus perlahan, menggerakkan rambut pirang Lumiere dan membuatnya sedikit berantakan. Meski begitu, laki-laki itu tidak memedulikan bagaimana penampilannya kala itu. Mata birunya lekat memandang langit yang semakin jingga dan nyaris tak lagi memiliki bekas biru di sana.

“Ya, indah, Pangeran.”

Mendengar tanggapan Secre, Lumiere akhirnya kembali membalas pandangan dari iris merah milik gadis itu. Iris merah yang serupa dengan darah; kental, lekat, pekat. Mata yang menyimpan banyak rahasia yang tak pernah dapat benar-benar dipahami jiwa mana pun.

Lumiere memiringkan kepalanya, menunjukkan ketertarikan yang tak pernah hilang jika itu berhubungan dengan Secre Swallowtail. Hingga kemudian Secre melihat senyum itu. Senyum yang tidak pernah gadis itu lihat diberikan Lumiere kepada orang lain selain dirinya.

Senyum yang menenggelamkan.

“Tapi kau tidak menikmati harimu, Secre,” ujar Lumiere kemudian. Ada kecemasan yang jelas terdengar dalam suaranya. “Ingin menceritakannya padaku? Kupikir hari ini cukup menyenangkan.”

Secre tertegun sejenak sebelum beralih memandang ke arah padang rumput yang membentang di sekitar mereka. Tangannya yang menyentuh rerumputan di bawah telapaknya mengepal kuat. Ia menolak untuk lebih lama melihat iris biru yang menatapnya lekat kala itu. Iris biru yang membuatnya ingin menyelam dalam ketersesatan yang membabibuta.

Secre terlalu takut.

Ada sebuah pemikiran yang sering menghantui benak Secre setiap kali bertatapan dengan biru milik Lumiere. Mata itu begitu hangat. Menyelimuti dirinya dalam kesenyapan. Meresap melalui kulitnya, dan merasuk hingga ke dasar kesakitannya yang tak pernah disadari dirinya sendiri. Yang bahkan Secre tak pernah tahu betapa mendambanya ia pada kehangatan itu.

Tetapi setelah hangat itu menyentuhnya, Secre mendapati jiwanya menggigil kedinginan. Menggigil karena keserakahan terhadap rasa hangat. Terus menggigil hingga yang ia tahu hanyalah keputusasaan.

Di dalam kehangatan itu, Secre ketakutan. Takut tenggelam dalam samudera biru milik Lumiere yang tak memiliki dasar. Secre takut menyerah pada ketiadaan yang diciptakannya. Sebab, di saat dirinya tenggelam, di sanalah Lumiere akan menemukannya.

Dan ketika Secre ditemukan, detik itu pula Secre kehilangan dirinya sendiri.

Di sana, di dunianya yang berisi cahaya senja, Secre mengais-ngais kewarasannya yang hampir lenyap. Tidak ada yang setidaknya memadai untuk paham bagaimana Secre menyimpan segala kepahitan itu di balik wajah tanpa ekspresinya. Bahkan dirinya sendiri.

Dengan suara monoton yang khas, Secre akhirnya menimpali perkataan Lumiere. “Sudah terlalu lama bagi saya untuk mengingat bagaimana caranya menikmati suatu hal, Pangeran. Tapi tidak perlu khawatir. Saya akan terus melayani Pangeran hingga akhir. Bahkan meski akhir pada dasarnya adalah sesuatu yang tanpa akhir.”

Keadaan berubah hening setelah perkataan Secre memenuhi udara, menjadi satu-satunya hal yang terdengar di sana. Selain debar jantung milik gadis itu sendiri. Debar jantung yang hanya mengisi telinganya.

Lumiere mendesah panjang. Ia kembali mendongak, memerhatikan awan yang bergerak perlahan terbawa angin. Mata birunya tampak menerawang, menggambarkan jiwanya tidak berada di sana.

Tidak di sana bersama Secre.

“Secre, aku selalu berterimakasih atas segala yang telah kau lakukan untukku. Namun, Secre, hidupmu adalah milikmu.” Lumiere menoleh, memandang Secre. Gadis itu membalasnya dengan mata yang seolah tanpa rasa, tanpa arti. “Waktu yang kau miliki terlalu panjang untuk hanya terpaku pada tugasmu. Ada banyak hal menyenangkan yang menantimu di masa depan.”

Ada perasaan bahwa perkataan Lumiere detik itu sebenarnya bukanlah pertama kalinya didengar Secre. Ia merasa seperti telah mendengarnya di dalam mimpi-mimpinya. Perkataan yang kini menjadi alasan Secre dapat bertahan.

Sejujurnya, udara pada sore itu tidak terlalu dingin. Pun tak hangat pula. Semuanya terasa normal. Cukup. Semua cukup bagi Secre. Namun mungkin, jauh di lubuk hatinya, Secre tahu mengapa saat itu hawa dingin tidak mengusiknya. Jiwanya sudah terlalu tersiksa oleh rasa dingin hingga tubuhnya tidak lagi sungguh-sungguh terpengaruh.

Walau seperti itu faktanya, lalu kenapa tubuh Secre tetap bergetar? Gadis itu bagaikan menahan pilu dari kerapuhan jiwanya. Kerapuhan yang menjadi mimpi buruknya dalam waktu yang lama. Lebih lama dari yang bisa dibayangkan tubuh kecilnya. Lebih kesepian dari yang bisa dipahami siapa pun. Dan nyatanya, tak ada siapa pun.

Secre berada di sana. Bersama Lumiere.

Lumiere yang selalu ada dalam pejaman matanya.

Dengan suaranya yang tercekat, Secre pun menjawab. “Saya hanya butuh alasan untuk tetap bersedia melanjutkan hari esok. Pangeran cukup untuk membuat saya ingin membuka mata. Itu sudah cukup. Cukup untuk waktu yang tak pasti.” Mata merahnya terlihat lebih gelap. Hampa.

Sebuah usapan menyentuh puncak kepala Secre. Begitu ringan, juga lembut. Mungkin nyaris tanpa arti. Atau setidaknya, itulah yang Secre yakinkan pada dirinya sendiri. Bahwa Lumiere yang mengusap kepalanya dengan lembut, bersama senyum penuh sesalnya dan pandangan dari mata birunya yang mati-matian tak ingin dimengerti Secre, hanyalah perlakuan yang tanpa arti.

Namun Secre tahu dengan sangat baik apa artinya.

Secre yang paling tahu.

“Secre, kau tahu, mengenalmu adalah salah satu hal yang paling kusyukuri dalam hidupku. Jika memungkinkan, aku ingin sekali berada di sisimu untuk waktu yang sangat lama. Dan, aku selalu berpikir bahwa...” Perlahan, jemari Lumiere menyentuh wajah gadis dengan matanya yang tanpa jiwa. Lebih dari dirinya. “Aku selalu berpikir bahwa pria yang akan menikahimu adalah pria paling beruntung di muka bumi.”

Mata merah yang selalu memandang seolah tanpa rasa, kini terhenyak hebat di tempatnya. Tapi ia membisu. Memandang nanar bagaimana dirinya terperosok jauh dalam pendar fantasinya sendiri. Nyaris lesap.

Sebelum Lumiere menurunkan tangannya, laki-laki itu mengelus pipi Secre sejenak. Sebuah senyum jenaka terpatri manis di wajah tampannya yang tak pernah berubah. “...Pria yang benar-benar menjengkelkan. Membuatku iri setengah mati hanya dengan membayangkannya hahaha...”

Laki-laki itu tertawa. Tertawa begitu geli. Secre memejamkan matanya, mendengarkan dengan seksama. Lalu ia simpan derai tawa itu di dalam ruang yang tidak mengenal lekang. Ruang yang menyakiti dan menguatkannya di saat yang sama. Ruang yang mengisi kekosongannya atas hidup tanpa makna utuh untuk waktu yang begitu lama.

Masih dengan matanya yang terpejam, suara lirih Secre terdengar kemudian. Suara lirih yang untuk pertama kalinya menggaungkan kata dari balik mata merahnya yang terlalu pekat. Pekat dalam menyembunyikan. “Apakah Pangeran tidak bisa menjadi pria itu?”

Tak ada jawaban.

Secre tak pernah mendengar jawaban atas pertanyaannya.

Pertanyaan yang tak pernah didengar Lumiere.

Akhirnya Secre membuka pejamannya, yang langsung disambut cahaya fajar. Secre menoleh ke sisinya. Dan, di sanalah Lumiere berada.

Diam, dengan tubuhnya yang membatu.

Secara harfiah.

Ah... Sudah berapa ratus tahun, ya, Pangeran?

***

A liminal space is the time between the 'what was' and the 'next'. It is place of transition, waiting, and not knowing.