➖in-hæ-ll
Ketika memasuki gudang, Utahime segera menyalakan lampu dan menaruh ponselnya di meja terdekat.
Ia memerhatikan satu-satunya kardus yang berada di paling atas rak, yang ia yakini sebagai kardus yang dimaksud Suguru, dan setelah itu ia mendengus gusar. “Ih, tinggi banget, anjir. Gila nih Suguru,” gerutunya.
Masih sambil menggerutu pelan, Utahime memandang sekitarnya. Ia mencari apa pun yang bisa membantunya untuk meraih kotak kardus berisi dekorasi yang akan digunakan di acara ulang tahun Sukuna malam itu.
Ia akhirnya menemukan sebuah kursi plastik tanpa sandaran yang tampak ringkih. Utahime sangsi kursi itu bisa menahan berat tubuhnya. Tapi selain kursi itu, tidak ada hal lain yang bisa menolongnya.
Di ruangan itu hanya terdapat meja marmer, lemari dan rak, kotak-kotak kardus besar, serta matras super tebal berlapis tiga yang Utahime duga merupakan milik Toji. Dengan begitu, mau tidak mau ia harus menaiki kursi itu. Tidak ada pilihan lagi.
Persis ketika Utahime mulai mengangkat kursi plastik itu, pintu terbuka perlahan. Utahime menoleh. Untuk sesaat ia mengira Shoko lah datang untuk membantunya.
Senyum di wajah gadis itu otomatis terkembang. Namun senyum itu jatuh sepenuhnya sepersekian detik kemudian. Saat mata karamelnya menatap langit musim panas yang dua bulan belakangan ini tidak Utahime ingat pernah ditatapnya.
Satoru Gojo masih berdiri canggung di ambang pintu. Utahime pun tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyapa meski baru saja laki-laki itu pulang setelah nyaris dua minggu berada di luar negeri.
Wajah Utahime berubah semakin kaku. Tatapannya sama sekali tidak bersahabat. Ia tidak bisa menahan dirinya. Entah apa alasannya, Utahime merasa marah. Marah melihat Satoru yang kini berada di hadapannya dengan ekspresi tanpa beban.
Namun sejujurnya, Utahime jauh lebih marah dengan fakta bahwa ia bisa melihat lebih jauh ke dalam diri Satoru melalui biru miliknya.
Ia marah karena melihat dengan begitu jelas bagaimana ekspresi tanpa beban itu hanyalah kamuflase dari betapa besar langit musim panas itu menyimpan terik hingga menyengat dirinya sendiri.
Utahime marah karena ia nyaris melupakan dirinya untuk sesaat karena mata itu.
Dengan cepat Utahime mengalihkan tatapan ke arah lain, kembali melanjutkan gerakannya mengambil kursi plastik untuk ditempatkan di depan rak. Hal itu menyadarkan Satoru pada apa yang menjadi tujuannya. “Sini, gue bantu,” katanya sambil melangkah masuk dan menutup pintu gudang.
Laki-laki berambut silver itu mendekat ke arah Utahime yang tampak tidak memedulikannya. Sekali lagi Satoru berkata, “gue aj—”
“Nggak perlu. Gue bisa sendiri,” potong Utahime, tegas. Gadis itu sedikit menggeser matras yang berada berdekatan dengan rak yang ia tuju, memberi ruang lebih untuk meletakkan kursi.
Satoru turut membantu mendorong matras—yang sejujurnya, dari lubuk hati yang paling dalam, sangat disyukuri Utahime karena matras itu beratnya bukan main dan Utahime tidak sanggup melakukannya sendiri. Tapi gadis itu masih menunjukkan ekspresi datar dan tak acuhnya. Bahkan tidak mengucapkan terima kasih sama sekali.
Saat Utahime sudah menempatkan kursi plastik di posisi terideal untuk mengambil kardus, tangan Satoru segera menahan tubuh gadis itu. Ia memandang Utahime dengan tatapan memelas—nyaris memohon, membuat Utahime segera membuang pandangan. Menolak melihatnya.
“Gue aja, ya. Please, Utahime. Bahaya,” ucap Satoru. Sentuhan Satoru yang berada di bahu Utahime perlahan turun ke lengan. Sentuhannya begitu lembut, seperti yang diingat Utahime.
Utahime kembali menoleh. Selagi mereka bertatapan, Satoru mengelus lengan gadis itu. Seolah-olah ingin membujuk Utahime agar mendengarkannya.
Bukan luluh, justru kedongkolanlah yang Utahime rasakan setelah dengan tiba-tiba sebuah ingatan tentang bagaimana Satoru menyentuh gadis lain di acara TV yang pernah ditontonnya, merebak dalam benaknya tanpa bisa dicegah.
Utahime menepis tangan Satoru. Tatapannya menajam. Suaranya terdengar menusuk. “Gue bisa sendiri. Bisa nggak, sih, lo nggak usah ngurusin? Kayak biasanya ajalah. Kenapa tiba-tiba jadi sok peduli?”
Mendengar perkataan sinis Utahime, Satoru tertegun di tempatnya berpijak. Sepenuhnya tercenung dan seakan tersadarkan atas apa yang telah dipilihnya.
Menghela napas dalam, laki-laki itu akhirnya memilih berdiri di belakang Utahime tanpa mengatakan apa pun lagi. Ia berusaha menjaga gadis itu apabila sewaktu-waktu terjadi sesuatu.
Utahime tidak ambil pusing dan mulai menaiki kursi dengan bibir berkomat-kamit penuh umpatan tanpa suara.
Cih, sok peduli. Biasanya juga cuma jawab oke-oke doang. Maksudnya apaan lagi pake ngelus-ngelus segala? Sorry aja, nih, gue nggak kayak cewek-cewek itu yang cekikikkan kalo dielus-elus. Idih, apa banget, sih? Elus aja sana cewek-cewek itu. Kira-kira itulah gambaran mengenai apa yang dikomat-kamitkan Utahime saat itu.
Tapi, gerak bibir Utahime seketika terhenti ketika tangannya berusaha menarik kardus yang menjadi tujuannya mendatangi gudang.
SUGURU, BENER-BENER LO, YA!! ENTENG APANYA, SIALAN?! Liat aja, gue aduin Shoko!
Tak henti-hentinya Utahime berharap tidak perlu meminta tolong pada Satoru. Memalukan sekali kalau sampai harus seperti itu. Lagipula meski tidak seringan yang dibayangkan Utahime, kardus itu tidak terlalu berat.
Mungkin Utahime sulit menariknya karena kardus itu terletak di rak teratas yang tetap sulit dijangkaunya meski sudah menggunakan kursi. Ia yakin Satoru bahkan tidak memerlukan kursi untuk meraihnya. Dasar sial.
Akhirnya Utahime berhasil menarik kardus itu. Saat berusaha membawanya turun, keseimbangannya goyah. Utahime menjadi panik karena kakinya mulai bergetar dan tangannya tidak kuat menahan beban kardus.
“Eh, Utahime, ati-ati!”
Utahime refleks memekik saat Satoru berusaha menolong dengan mengangkat tubuhnya. Tapi karena pijakan laki-laki itu pun tidak pas ditambah dengan ruang yang sempit, ia kesulitan untuk tiba-tiba menahan beban tubuh Utahime. Akhirnya keseimbangannya ikut goyah.
Satoru memilih menjatuhkan diri di atas matras yang ada di belakang mereka. Itu adalah keputusan paling tepat dan rasional. Yang tidak dipertimbangkannya adalah ketika ia menjatuhkan diri, tubuh Utahime pun ikut jatuh bersamanya.
Itulah mengapa kini mereka berakhir jatuh terduduk bersama, dengan Utahime duduk di atas pangkuannya sementara kotak kardus yang diambil gadis itu jatuh di dekat kaki mereka.
Suasana berubah hening.
Utahime yang pulih lebih dulu, tersadar dengan posisinya sekarang. Semu merah terlukis di pipinya. “Eh, sorry banget!” Sembari berkata seperti itu, Utahime bangkit berdiri.
Dan, Utahime terkejut bukan main saat Satoru meraih pergelangan tangannya. Laki-laki itu mendongak, memandang Utahime begitu dalam. “Boleh nggak... lo duduk di posisi tadi lagi...?” Suara Satoru terdengar pelan, penuh ketidakyakinan.
”... Sebentar aja,” lanjutnya, sepenuhnya memohon.
Utahime masih diam. Batinnya bergejolak. Ia marah pada Satoru yang bersikap plin-plan. Bukankah laki-laki itu yang ingin menjauh? Jadi, kenapa bersikap seperti ini sekarang?
Ya, ia marah pada Satoru Gojo yang membuatnya bingung. Ia marah pada Satoru Gojo yang selama dua bulan ini bersikap seakan semua berjalan normal di hadapannya.
Namun Utahime tahu, ia lebih marah pada dirinya sendiri yang merasa tidak keberatan dengan permintaan Satoru. Ia lebih marah pada dirinya sendiri yang mulai lupa diri hanya karena langit biru itu menawarkannya kehangatan.
Beberapa detik kemudian, Satoru bersumpah bahwa jantungnya melompat keluar ketika tanpa mengatakan apa pun, Utahime kembali duduk di pangkuannya seperti semula.
Perlahan, tangan laki-laki itu melingkar di sepanjang pinggang Utahime. Ia memeluk Utahime. Untuk pertama kalinya.
Satoru sadar betapa tak tahu malu dirinya saat itu. Tapi, ini sungguh menyiksa. Satoru tidak lagi bisa menahan dirinya. Ia merasa akan mati jika tidak melakukannya.
Tubuh Utahime yang semula kaku, mulai rileks dan bersandar sepenuhnya pada Satoru. Ia berusaha tidak memedulikan debar jantungnya—ataupun debar jantung yang menghentak punggungnya begitu kuat.
Satoru menaruh pipinya di puncak kepala Utahime. Matanya memejam dan ia menghela napas dalam. Aroma manis seperti selai gula dari rambut halus Utahime menyapa hidungnya. Satoru akhirnya bisa kembali bernapas.
“Lo baru sampe?” Utahime membuka suara lebih dulu.
“Iya, makanya capek dan butuh isi energi.”
“Dengan meluk gue?”
Satoru terdiam sejenak, lalu menyahut pelan. “Nggak boleh, ya?”
Mendadak Utahime menoleh, menatapnya dengan ekspresi gusar. “Ya pikir aja, anjir! Lo bilang mau ngejauh, kan? Jadi, ngapain?”
Dengan senyum lemah, Satoru memerhatikan air muka Utahime yang terlihat frustasi. Ia mengelus poni gadis itu sesaat, dan kembali melingkarkan tangannya di pinggang Utahime. “Susah banget ternyata. Kalo menurut lo, susah nggak, sih?”
Utahime menolak membalas tatapan Satoru. Ia kembali ke posisinya; bersandar di tubuh Satoru. Suaranya lirih terdengar. “... Lumayan.”
“Beneran?!” pekik Satoru sambil berusaha melihat wajah Utahime dari samping.
Utahime mendorong wajah Satoru menjauh dengan wajah yang memanas. “Berisik.”
Pelukan Satoru mengerat. “Utahime, maaf ya. Gue nggak bisa—”
“Basi, ah. Udah, nggak usah dibahas lagi. Gue tau lo punya situasi lo sendiri, dan gue ngehargain pilihan lo walau nggak sesuai sama pendapat gue.” Utahime mendengus jengkel. “Jangan pernah minta maaf lagi. Gue sampe bosen bilang ini bukan salah lo doang.”
“Utahime, bisa nggak sih lo jangan terlalu sempurna? Ntar kalo gue naksir, guenya insecure.”
“Bercanda mulu.”
Satoru hanya terkekeh, tidak menanggapi lebih jauh. Tidak ingin. “Kabar lo gimana? Kok lo enteng banget, sih? Makan yang banyak dong, Utahime. Drama lo udah selesai, ya? Udah ada project baru? Btw, lo makin... deket, ya, sama lawan main lo? Pacaran?”
“Nggak pacaran.”
Satoru mendadak tergelak kencang karena tanggapan Utahime. “HAHAHAHAHA... Kok yang dijawab itu doang? Gue, kan, nanyanya banyak.”
Dengan datar, Utahime menukas, “yang paling lo mau tau yang mana?”
Satoru terkekeh jengah. “Hehehe iya, sih, yang itu. Tapi, beneran? Kok lo sampe foto sambil nyium pipi dia segala?”
“Lo nanya gini karena kepo aja?”
“Mau jawaban jujur apa jawaban aman?”
“Kalo aman?”
“Iya, kepo aja.”
“Kalo jawaban jujur?”
“Pilih aman aja, gimana?”
Utahime memukul lengan Satoru sebal, sedangkan laki-laki itu langsung terbahak-bahak. “Yee, goblok!”
Satoru terkikik geli. “Ya udah, lo mau jawab nggak?”
Setelah mendesah panjang, Utahime akhirnya menjelaskan. “Itu foto buat promosi aja, nggak ada maksud apa-apa.”
“Oh, gimik doang, ya.”
“Iya, kayak lo; tukang gimik.”
Satoru menggigit bibir untuk menahan tawa saat mendengar nada menyindir dari suara Utahime. Ia bertanya sambil tersenyum geli. “Gimik gue kayak gimana, sih, contohnya?”
Utahime, entah bagaimana, kesulitan menutupi kegeramannya yang membingungkan. “Ya modus ke cewek-cewek. Lo suka gimik begitu, kan? Kayak megang-megang tangan, meluk-meluk—”
“Gue nggak pernah meluk-meluk cewek lain, anjir! Apalagi di TV!” Satoru menyangkal cepat. Ia mendekatkan wajahnya pada Utahime, berusaha melihat ekspresi gadis itu.
Tapi, Utahime tidak tampak terkesan. Ia bahkan tidak sekadar memberi lirikan saat bergumam singkat. “Halah.”
“DEMI TUHAN, NGGAK PERNAH!”
Akhirnya Utahime memalingkan wajah ke arah Satoru. Eskpresinya masih datar. “Terserah, sih. Nggak perlu juga lo jelasin ke gue.”
“Serius, Utahime! Gue meluk lo doang!” Satoru diam sejenak. Senyum sumringah mendadak memenuhi wajahnya. “Utahime... HAHAHAHAHA...”
Utahime mendesis. “Ih, apa, sih?!”
Bibir Satoru menyunggingkan senyum kecil yang menyiratkan berbagai kesenangan. Tampak dengan jelas betapa laki-laki itu menikmati saat ini. “Lo cemburu?” Satoru berucap kemudian. Suaranya terdengar menggoda.
Utahime membuang muka, kembali ke posisi sebelumnya. “Lo kali,” cetusnya pendek, tidak ingin terlihat terpengaruh karena pertanyaan ringan itu.
Namun setelah kalimat Utahime menguar di udara, Satoru tidak mengatakan apa pun. Ia tidak menyangkal, namun diamnya terasa janggal. Seolah ada jawaban dari tanpa-kata darinya.
Utahime yang terheran-heran dan menolak untuk menciptakan kemungkinan dalam kepalanya, mendongak untuk memandang Satoru. “Lo cemburu beneran?” Gadis itu bertanya lagi, mencari kejelasan.
Satoru menjawab pertanyaan itu dengan senyum jenaka bersama gedikkan di bahu. Ia tidak menjelaskan lebih jauh maksud dari sikapnya. Namun, Utahime cukup puas dengan jawaban itu sehingga kembali bersandar seperti semula bersama senyum samar di bibir ranumnya.
Saat teringat sesuatu, Utahime tiba-tiba menepuk lengan Satoru yang masih bersarang di pinggangnya. “Gue mau ambil hape. Lepas.”
Meski kecewa, Satoru melepaskannya dengan patuh. Ada pemikiran bahwa mungkin memang sudah saatnya ia berhenti memeluk Utahime. Mungkin saja ini cara Utahime untuk memberitahunya.
Tetapi, sehabis mengambil ponselnya, Utahime kembali ke tempatnya.
Tepat di pangkuannya.
Sekuat tenaga Satoru mencoba untuk tidak tersenyum terlalu lebar. Sambil menghela napas dalam untuk menenangkan diri, ia kembali memeluk pinggang ramping Utahime. Berusaha tampak normal.
Walau tentu, Utahime Iori tahu dengan jelas sekencang apa detak jantungnya kala itu.
Sebab, hei, Utahime Iori datang sendiri ke pangkuan Satoru!
Bertolak belakang dengan yang dialami batin Satoru, Utahime tampak biasa saja. “Dengerin lagu ini, deh. Gue yakin lo pasti belum pernah denger,” celetuk Utahime dengan mata masih menatap layar ponsel.
“Lagu apa emang?” tanya Satoru. Ia sandarkan kepalanya di bahu Utahime, ikut mengintip layar ponsel gadis itu.
“Soundtrack web drama korea. Sebenarnya gue nggak terlalu suka dramanya, tapi ini lagu favorit gue.” Utahime memasang satu earphone di telinganya, satu lagi di telinga Satoru.
“Ini lagu jatuh cinta yang dinyanyiin setelah perpisahan.”
Kalimat Utahime mengawali musik yang akhirnya memenuhi pendengaran, melebur dalam ingatan.
Ketika mengenang hari itu, mereka akan mengingatnya sebagai salah satu hari yang menyenangkan.
Hari menyenangkan terkadang diingat untuk menguatkan.
▪️▫️