You and Silence

Suara sorakan penonton bergaung hebat di seluruh stadion. Oikawa Tooru memandang ke sekitarnya. Memerhatikan bagaimana ekspresi suka cita memenuhi wajah banyak orang. Di baris penonton, di pinggir lapangan, juga pada wajah para pemain voli pria SMA Karasuno.

Segalanya berjalan begitu membahagiakan. Begitu penuh dengan kesenangan tak tergambarkan. Tapi, di sanalah ia, termenung dengan wajah tanpa ekspresinya memandangi setiap senyum dan tawa yang sama sekali bukan miliknya ataupun anggota tim volinya.

Di sanalah Oikawa membisu dan menyaksikan bagaimana telinganya perlahan menuli dan sekitarnya berubah menjadi gambaran bisu yang bergerak dalam mode lambat. Di sanalah Oikawa berdiri dalam kegamangan melihat seluruh dunia terus berputar dan berbahagia meski dirinya tak ikut merasakannya.

Di sanalah dirinya menyaksikan betapa tak ada yang peduli bagaimana hancur dunia seorang Oikawa Tooru.

Ia hancur.

Ia adalah kapten terburuk yang selalu gagal membawa kemenangan bagi timnya.

Selalu gagal.

Selalu.

Mungkin dewa memang membencinya dan mengutuk setiap detik dirinya bernapas dalam kehidupan ini. Sehingga sekeras apa pun ia berlatih, sebanyak apa pun ia berdarah-darah, sehebat apa pun ia memimpin timnya, kejuaraan nasional tak pernah menjadi jalan hidup yang diberikan takdir untuknya.

Dan bahkan, langkahnya semakin jauh sekarang.

Ya, mungkin ia memang dibenci kehidupan.

Kau terlalu keras pada dirimu. Kaulah yang paling tidak memaafkan dirimu sendiri, Oikawa.” Itulah kalimat yang selama ini selalu didengar Oikawa dari Iwaizumi setiap kali tim mereka kalah dari Akademi Shiratorizawa. Tapi, entah berapa kalipun ia mendengarnya, semakin keras dan dingin ia terhadap dirinya sendiri. Tanpa ia sadari.

Saat itu Iwaizumi untuk pertama kalinya tidak mengatakan apa pun. Ia hanya memandang Oikawa yang tengah membasuh wajahnya dengan air mengalir di wastafel toilet stadion, memerhatikannya dalam hening dengan matanya yang sembab.

Ketika Oikawa mengangkat wajah dan menatapnya melalui cermin, Iwaizumi menepuk bahu temannya itu sejenak sebelum akhirnya melangkah keluar. Ia membayar tepukan yang beberapa saat lalu diberikan Oikawa di punggungnya untuk memberinya semangat.

Oikawa sendiri di sana. Terjaga dalam bisu yang terasa tanpa akhir. Dalam keheningan itu, Oikawa menyadari satu hal. Dunia yang sunyi terasa lebih baik. Dalam sunyi, hatinya tak lagi merasakan gejolak perasaan yang begitu dibencinya. Berbagai perasaan akibat kekalahannya.

Kalah.

Oikawa benci kata itu.

Namun, ia lebih benci pada dirinya sendiri.

Pintu toilet tiba-tiba terbuka, menampakkan sosok dengan rambut kelabu yang kemudian terpaku di ambang pintu saat bertemu pandang dengan mata cokelat Oikawa. Oikawa tidak bereaksi ketika tepat di hadapannya, Sugawara Koushi berdiri sembari menatapnya.

Oikawa mengalihkan pandangan ketika Sugawara mulai berjalan masuk dengan senyum canggung terulas di wajahnya. Ia sama sekali tidak membalas senyum Sugawara, pun memperlihatkan bahwa dirinya tidak memiliki kepedulian terhadap hal itu sedikit pun.

Dan, ia sama sekali tidak senang melihat Sugawara berada di sana.

Sugawara Koushi adalah orang terakhir yang ia harap melihat sisi terburuknya seperti saat ini.

Oh, hari ini menjadi semakin sempurna untuk dibenci.

Oikawa kembali membasuh wajahnya bersamaan dengan Sugawara yang kini tengah mencuci tangan di wastafel tepat di sampingnya. Tanpa Oikawa sadari, Sugawara memerhatikannya melalui sudut mata. Keadaan semakin canggung dan memalukan, Oikawa ingin cepat-cepat pergi dari sana.

Dengan wajah dan rambut bagian depan yang basah, Oikawa mulai melangkah mundur dan sudah akan berjalan pergi dari sana. Tapi, entah apa yang dipikirkan setter Karasuno itu sehingga memutuskan untuk mengatakan sesuatu yang tak pernah dibayangkan Oikawa akan ia dengar dari laki-laki itu.

“Kau sangat mengagumkan, Oikawa.”

Tentu saja kalimat itu berhasil menghentikan gerakan Oikawa yang akan meraih gagang pintu. Ia membalikkan tubuhnya, memandang Sugawara yang melihatnya melalui cermin. Mereka berbagi tatap dalam hening yang begitu menyesakkan.

Setidaknya bagi Oikawa dan jantung konyolnya.

Di saat Oikawa belum pulih dari keterkejutannya, Sugawara mengulaskan sebuah senyuman hangat. Senyuman yang selama ini selalu dilihat Oikawa dari jauh. Senyuman yang selalu diberikan seorang Sugawara Koushi kepada timnya. Diam-diam masuk ke dalam daftar alasan Oikawa Tooru semakin membenci Karasuno.

Ya, ia benci melihat bagaimana Karasuno bisa mendapat senyum hangat itu tanpa pernah mensyukurinya. Dasar kumpulan bajingan tak tahu terima kasih.

Setelah beberapa detik mereka terjaga dengan kesenyapan, Oikawa akhirnya kembali menemukan suaranya. “A-aku tidak mengagumkan.” sahutnya kemudian, dan merasa ingin membenturkan kepalanya ke dinding sepersekian detik setelah mendengar suaranya yang tergagap. Bodoh sekali.

Yang terburuk adalah Oikawa bisa mendengar suara tawa teman-teman setimnya yang sudah pasti akan mengoloknya jika mendengar jawabannya kala itu. Jawaban yang sama sekali bukan gayanya.

Atau setidaknya, gayanya yang selama ini selalu ditampakkan olehnya di depan semua orang.

Namun kini Sugawara Koushi menjadi pengecualian karena menjadi satu-satunya orang yang melihat betapa tidak keren dirinya. Dan, Sugawara hanya membutuhkan satu kalimat untuk membuatnya menjadi seperti itu.

Sungguh, ini bukanlah kali pertamanya disebut mengagumkan oleh orang lain. Tapi, ini adalah kali pertamanya mendengar pujian itu dari Sugawara Koushi. Terlebih lagi, pujian itulah ucapan pertama yang pernah dikatakan Sugawara kepada dirinya. Jangan lupakan ketulusan yang begitu terasa dari kalimatnya. Semua itu membuat Oikawa lupa seperti apa dirinya selama ini di mata semua orang.

Mendengar balasan kikuk Oikawa atas pujiannya, senyum Sugawara melebar hingga deretan giginya terlihat. Saat itu Sugawara sejujurnya cukup terkejut melihat Oikawa Tooru menampakkan sisi yang sama sekali berbeda dengan apa yang dipikirkannya selama ini.

Sugawara mematikan keran, lalu berbalik dan memandang Oikawa secara langsung. Tidak lagi melalui perantara cermin. Kehangatan pada mata laki-laki itu begitu terpancar dan melebur sedikit demi sedikit dalam diri Oikawa. Merasuk perlahan ke dalam jiwanya yang menggigil dan kelelahan.

Untuk pertama kalinya di hari itu Oikawa merasa bisa bernapas lega.

“Tidak. Kau memang sangat mengagumkan, Oikawa.” ujar Sugawara lembut. “Jika aku harus berkata jujur, kau adalah seseorang yang paling pasti mendapat apa pun yang terbaik di dunia ini. Sebab, aku belum pernah melihat seseorang yang lebih bekerja keras dibandingkan dirimu. Kau bahkan lebih membenci dirimu sendiri dibandingkan musuh-musuhmu. Seseorang yang keras terhadap dirinya sendiri adalah mereka yang suka melampaui batas. Jadi, bagaimana bisa kau tidak mengagumkan?”

Tangan Oikawa terkepal kuat. Ia sedikit menunduk. Matanya terpejam. Ia berusaha fokus untuk mengenyahkan rasa nyaman yang ditimbulkan Sugawara pada dirinya, dan menjawab dengan suara skeptis yang penuh cemoohan. “Tapi aku kalah, Sugawara. Aku tidak pernah menang.”

“Tidak ada yang mengatakan bahwa seseorang yang mengagumkan tidak pernah gagal. Mereka mengagumkan karena mereka tidak pernah menyerah.” Oikawa tercenung ketika mendengar perkataan Sugawara. Ia kembali mengangkat wajah, bersamaan dengan Sugawara yang kembali bersuara. “Lagipula semua orang mengakuimu. Kau adalah salah satu dari yang terbaik. Aku tahu mungkin kata-kataku terdengar seperti angin lalu sekarang, tapi aku hanya ingin kau tahu bahwa kau mengagumkan dan aku harap kau mau mengakuinya.”

Oikawa masih saja tertegun di tempatnya membatu. Ia tidak menanggapi ucapan Sugawara. Tidak, ia belum cukup mampu untuk menanggapi kata-kata yang kini terasa seperti menenggelamkannya dalam perasaan yang begitu asing.

Apakah seperti ini rasanya bahagia menerima pujian yang begitu tulus dan bersungguh-sungguh? Membuatnya merasa seolah bisa melakukan apa pun dan dunia tidaklah hancur seperti bayangannya.

Oikawa suka perasaan itu.

Terlalu suka.

Sugawara terus memerhatikan Oikawa yang masih saja tidak memberikan respon. Sampai akhirnya ia menyadari satu hal. Fakta bahwa dirinya baru saja bersikap tidak sopan. “Oh! Maaf jika aku terdengar sok akrab, Oikawa! Aku tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman...”

“Tidak! Tidak! Tidak sama sekali!” Oikawa tanpa sadar melangkah mendekat. Oh, gawat. Terlalu dekat. Tapi sayangnya, Oikawa tidak ingin mundur. “Aku... sangat berterimakasih atas kata-katamu. Terima kasih banyak, Sugawara. Ucapanmu membuatku merasa... hmm... yah, kau tahu, lebih baik. Sebenarnya jauh lebih dalam dari sekadar lebih baik. Aku seperti... bisa bernapas.”

Saat menyadari perkataannya terdengar begitu payah dan putus asa, wajah Oikawa memerah karena malu. Ia kembali merasakan kepanikan. “M-maksudku aku—aku sangat bersyukur atas kata-katamu. Sekali lagi, terima kasih.”

Untuk sesaat Sugawara tertegun karena bingung melihat tanggapan Oikawa. Ia masih terus menatap wajah Oikawa yang semakin merah hingga ke telinga dan kini sedang memandang ke arah lain dengan salah tingkah. Namun kemudian, Sugawara tertawa. Manis. Sangat manis hingga Oikawa nyaris lupa diri.

“Aku senang mendengarnya.” ucap Sugawara bersama senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya.

Senyuman tulus pertama Oikawa di hari itu merekah. Tanpa dirinya sendiri menyadarinya. Ia hanya terlalu terpaku di dalam dunianya detik itu.

Dunianya dengan Sugawara Koushi di dalamnya. Walau hanya untuk sementara. Hanya beberapa detik. Detik-detik yang disyukurinya.

Sejujurnya Oikawa selalu memiliki ketertarikan yang tidak ingin diakuinya terhadap Sugawara sejak pertama kali melihat bagaimana wakil kapten Karasuno itu berhasil mengubah atmosfer pertandingan.

Seseorang yang sesegar pagi hari. Seseorang yang secerah matahari. Seseorang yang sejauh angan. Seseorang yang membuat Oikawa bertanya-tanya bagaimana rasanya diselamatkan.

Dan akhirnya, Oikawa merasakannya.

Sugawara telah menyelamatkannya hari itu. Menyelamatkannya dari kehilangan dirinya sendiri. Sugawara menemukannya meski sebenarnya laki-laki itu tidak harus melakukannya.

Namun Oikawa tahu. Itulah Sugawara Koushi.

Beberapa saat kemudian mereka akhirnya melangkah keluar dari toilet, berjalan beriringan di lorong menuju tim mereka masing-masing. Untuk sesaat Oikawa ingin sekali menghentikan waktu agar ia memiliki lebih banyak kesempatan untuk berbicara dengan Sugawara.

Ia tahu itu tak mungkin. Itulah sebabnya Oikawa akan menciptakan kesempatannya sendiri. Selama ini ia sudah menutup mata terhadap bagaimana ia memandang Sugawara. Ia tidak ingin melakukan hal itu lagi.

Ia akan menunjukkan pada Sugawara bahwa ia memang sekeren apa yang selama ini dipikirkan semua orang. Ia akan menunjukkan pada Sugawara bahwa laki-laki itu tidak salah menilai mengenai dirinya. Bahwa ia memang mengagumkan.

Setidaknya cukup mengagumkan untuk bisa meluluhkan seorang Sugawara Koushi. Semoga.

Kesempatan Oikawa semakin menipis ketika tepat di hadapannya para pemain Karasuno mulai tampak. Jantung Oikawa menghentak keras di balik dadanya hingga ia takut Sugawara juga mendengarnya. Adrenalin dalam diri Oikawa berpacu di dalam darahnya, dan semakin memompa jantungnya ketika akhirnya ia menghentikan langkah Sugawara dengan menggenggam pergelangan tangannya.

“Sugawara, tunggu sebentar.” Oikawa berkata dengan pembawaan yang tenang. Sungguh bertolak belakang dengan apa yang terjadi di dalam sana. Di dalam dirinya.

“Ada apa?” tanya Sugawara yang tidak pernah kehilangan keramahannya. Sama sekali tidak tampak terpengaruh dengan genggaman Oikawa, membuat Oikawa ingin sekali tersenyum pedih melihatnya.

“Hmm... Bolehkah aku meminta ID Line-mu?” Sebelum Sugawara sempat berpikir macam-macam, Oikawa kembali melanjutkan. “Sebenarnya salah seorang keponakanku adalah penggemarmu. Dia pernah melihatmu di pertandingan sebelumnya. Hari ini dia ulang tahun dan... aku harap kau bisa mengucapkan selamat ulang tahun untuknya melalui panggilan telepon.”

Sugawara terlihat sangat terkejut. Tapi, lagi-lagi Sugawara belum sempat memberikan reaksi apa pun, Oikawa sudah kembali bersuara. “Jika kau keberatan, tentu saja tidak masalah. Aku tidak memaksa hehehe...” Oikawa memberikan kekehan salah tingkahnya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Astaga, padahal sebelumnya ia ingin menunjukkan betapa memesona dirinya. Tapi apa ini? Memalukan.

Tanpa diduga-duga Sugawara tertawa. Begitu renyah dan lembut di saat yang sama. Oikawa sampai bertanya-tanya, bagaimana bisa seseorang bisa memiliki tawa semenyenangkan itu?

Tetapi yang berikutnya terjadi jauh lebih mengejutkan Oikawa. Ketika tepat di depan matanya Sugawara mulai mengeluarkan ponsel dari saku celananya, lalu kembali menatap Oikawa dan bertanya, “Apa ID Line-mu?”

Oikawa berteriak kencang di dalam batinnya. Ia ingin melompat salto jika bisa. Astaga, Oikawa bahkan ingin menertawai dirinya sendiri karena menyadari bagaimana konyol ia saat ini.

Bayangkan saja, beberapa saat lalu ia merasa dunianya runtuh, lalu sekarang ia bisa membayangkan berjalan pulang sambil bersenandung dengan senyum di wajah dan hati membuncah senang.

Aneh sekali, bukan? Hidup memang penuh misteri.

Setelah berdeham sejenak, Oikawa menyebutkan ID Line-nya pada Sugawara. Sugawara kemudian menambahkan kontak Oikawa dalam pertemanannya. Ketika Oikawa tengah menatap layar ponselnya untuk turut menambahkan kontak Sugawara pada daftar temannya, Sugawara bertanya, “Siapa nama keponakanmu?”

“Hara.” sahut Oikawa, kembali memandang Sugawara.

Sugawara mengangguk. “Baiklah. Hara, selamat ulang tahun. Aku harap kau menjadi seseorang yang selalu hidup bahagia.”

“Dia akan lebih bahagia jika mendengarnya langsung darimu. Jika tidak hanya melalui panggilan telepon, maukah kau datang ke rumahku setelah pertandinganmu besok selesai?” Oikawa tahu ia sangat nekat. Tapi, tidak ada salahnya mencoba peruntungannya, bukan?

Rupanya peruntungan Oikawa membaik setelah takdir menjungkirbalikkan dunianya.

Sebab, Sugawara akhirnya mengangguk.

***