In Too Deep

Used to be scared of the ocean, 'Cause I didn't know how to swim.

“Istriku suka sekali minum bir,” mulai Satoru pada pria tua yang duduk di sisinya di kursi baja itu.

Senyuman khas yang selalu memenuhi wajahnya saat mengingat sang istri kembali hadir. Ada tawa renyah menemani ketika ia melanjutkan. “Sekalinya meneguk bir, akan sulit sekali untuk membuatnya berhenti. Sering kali dia sampai tidak sadarkan diri dan membuatku harus menggendongnya pulang. Bahkan sejak kami belum menjalin hubungan, aku selalu menjadi seseorang yang mengantarnya pulang.”

Satoru kembali tertawa. “Wanita itu benar-benar merepotkan.”

Pria tua di sampingnya tersenyum kecil sambil menyilangkan tangan. “Kau sama sekali tidak terlihat keberatan.”

“Ya, sejujurnya aku memang senang ketika melakukannya. Bisa dibilang, waktu-waktu itulah yang membuatku berhasil membuatnya luluh dan berhenti membenciku.” Satoru menanggapi. Ia bersandar pada dinding di belakangnya.

Mata birunya memandang ke langit-langit ruang kecil yang hening itu, terlihat dengan jelas pikirannya tidak berada di sana detik ini.

“Musuh yang berakhir mencintai?” tanya pria tua itu. Saat Satoru menatapnya, ia terkekeh samar karena melihat bayangan Masamichi Yaga dalam diri pria tua itu.

Satoru menggeleng kemudian. “Kami bukan musuh, kami hanya tidak rukun. Dia seniorku saat sekolah. Aku suka sekali menggodanya karena dia begitu menggemaskan seperti mainan kucing yang ingin kumasukkan saku dan kukecup setiap saat.”

Sebuah dengusan lolos keluar dari hidung Satoru. Wajahnya berekspresi jengkel, tapi manik birunya tidak bisa menutupi binaran bahagia karena ombak nostalgia mendatangi benaknya. Ia kembali bersuara. “Kau bisa bayangkan? Dia yang seperti itu, marah padaku karena aku tidak berhenti mengganggunya. Padahal—astaga! Itu salahnya sendiri! Kenapa dia harus begitu menarik perhatianku?”

Si pria tua tergelak hebat mendengar gerutuan Satoru. Ia menepuk keras bahu pria muda dengan rambut putih serupa dirinya itu berkali-kali. “Dasar pria mesum! Apakah kau memberitahu istrimu mengenai hal ini?”

Sambil ikut tertawa bersama pria tua itu, Satoru menggeleng lagi. “Tidak. Tentu saja aku tidak memiliki keberanian untuk berkata sejujur itu padanya. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukannya padaku hahahaha...” Tawa Satoru perlahan-lahan mereda. Sebuah senyum lembut masih tersisa di bibir. “Tapi meski begitu, aku yakin sekali bahwa istriku sangat tahu bagaimana perasaanku tanpa perlu kukatakan.”

“Kenapa kau berpikir demikian?”

“Karena dia memang wanita yang seperti itu,” ucap Satoru perlahan. “Utahime-ku merupakan wanita paling peka, berbelas kasih, dan pengertian dari manusia manapun. Singkatnya, Utahime adalah terbaik dari yang terbaik—Ah! Bahkan melebihi istrimu, Pria Tua.”

“Hei! Kau tidak mendengarkan ceritaku mengenai betapa hebat istriku tadi?” Pria tua itu menghardik Satoru dengan cepat. Tidak terima mendengar ada wanita lain yang lebih hebat dari istrinya.

Namun, Satoru tidak memedulikannya dan hanya tersenyum mencemooh. “Tidak, Utahime Iori sudah pasti merupakan manusia paling sempurna.”

“Tidak ada manusia yang sempurna, Nak. Semua memiliki sisi gelapnya masing-masing.”

“Tentu saja ada. Manusia itu bernama Utahime Iori.” Satoru masih saja keras kepala, nyaris tidak tahu malu.

Melihat bagaimana sikap Satoru, pria tua itu mendesah panjang penuh dengan rasa heran. “Kau terlihat percaya diri sekali.”

“Kau tidak akan pernah tahu betapa menggemaskannya istriku ketika dia marah dengan wajahnya yang merah padam. Ataupun seberapa menarik sikap kerasnya saat menonton pertandingan olahraga kemudian menangis tersedu-sedu saat tim kesukaannya kalah.” Iris biru langit Satoru memandang jauh. Mengais memorinya yang tertata rapi mengenai Utahime Iori yang tersimpan kekal. “Bahkan ketika dia hanya duduk di teras rumah kami sambil meminum teh oolong dan menceritakan hal paling membosankan yang pernah ada, kau tidak akan bisa menahan dirimu untuk tidak mengaguminya.”

Pria itu terdiam sejenak. Satoru baru menyadari jantungnya berdebar kuat. Debar yang sama sekali tidak asing baginya. Debar yang hanya hadir saat nama Utahime memenuhi setiap inci raga dan jiwanya.

Suara Satoru perlahan terdengar, mengisi senyap yang memenuhi ruang sempit itu. “Siapapun yang bertatapan dengan mata cokelatnya yang sehangat dan semanis karamel akan segera tahu betapa menakjubkannya segala hal mengenai wanita itu.”

“Aku adalah pria tua bodoh jika berkata bahwa kau tidak mencintainya.”

Dengan penuh percaya diri, Satoru menjawab yakin. “Ya, itu adalah pernyataan yang tidak masuk akal. Aku paling mencintainya di dunia yang kubenci ini. Tidak ada yang lain.”

“Lalu kenapa kau membunuhnya, 4273?”

***