Cheesyrain

➖The Show

Studio menjadi hening ketika Keiko Takagawa, pembawa acara talk show Sensi yang merupakan kependekan dari 'Sensasi Seputar Selebriti' itu, mengajukan pertanyaan kepada Utahime.

Utahime kembali mengulang pertanyaan wanita berusia 40-an itu di dalam kepalanya. “Kamu tuh emang kurang suka, ya, sama Satoru?

Bohong jika Utahime tidak merasa diserang dengan pertanyaan itu, bersama senyum manis yang entah bagaimana bisa tersimpul sempurna di bibir Keiko tanpa cela. Wanita itu sungguh mengerikan.

Satoru memahami bahwa keadaan menjadi canggung. Ia memerhatikan Utahime dengan seksama. Ia sangat mengkhawatirkan wanita itu. Namun di matanya, Utahime telihat tenang seperti biasanya. Meski Utahime tidak terlihat terganggu, Satoru tahu bahwa Keiko Takagawa lebih dari sekadar mengganggu.

Wanita itu disebut berbisa bukan tanpa alasan.

Beberapa saat kemudian Utahime tertawa renyah. Ada perasaan lega yang melingkupi Satoru ketika mendengarnya, tetapi rasa cemas masih tidak meninggalkannya. “Hahaha... iya, bener. Aku emang kurang suka sama Gojo. Dia tuh anaknya ngeselin. Jahil banget. Aku tuh suka capek deh kalo ngadepin dia. Belum lagi kalo lagi random gitu... Haduh, ampun deh.”

Keadaan studio yang semula penuh tekanan, mulai dipenuhi tawa setelah suara Utahime mengalun di ruangan itu bersama senyum dan nada ramah yang mustahil membuat orang berpikir bahwa apa yang dikatakannya adalah bentuk dari rasa bencinya pada Satoru.

Kali ini Satoru bisa kembali mengulaskan senyum. Senyuman lebar yang penuh sukacita. Sungguh aneh sebenarnya melihat bagaimana senyum itu bisa menghias wajah tampannya, mengingat apa yang didengarnya barusan adalah hal negatif yang diarahkan padanya.

Satoru ikut menanggapi dengan tawa samar dalam suaranya. “Yang kalian liat di TV, itu emang beneran yang terjadi. Aku sama Utahime tuh beneran nggak akur. Lebih tepatnya sih gara-gara aku suka gangguin dia. Tapi kalian pasti sadar deh. Utahime tuh kalo dijailin suka kocak gitu, kan, tanggepannya? Hahaha...” Satoru bicara ke arah penonton yang segera menimpalinya dengan tawa dan ungkapan setuju.

“Nah, ini, nih. Gimana aku nggak sebel coba? Emang ngeselin, kan?” Utahime menyikut Satoru main-main, lalu Satoru memberikan tanggapan yang berlebihan seolah tulang pinggangnya akan patah. Sembari memerhatikan Satoru yang meringis sambil berpura-pura menangis, Utahime kembali berkata, “Selain jail, dia juga lebay. Ngeselinnya jadi plus-plus.”

“Utahime, jahat banget sih lo!” Ucapan Satoru itu hanya ditanggapi dengan putaran mata jengah dari Utahime, sedangkan para penonton kembali tertawa bersama sang pembaca acara.

Keiko menatap Utahime dan Satoru bergantian dengan senyum penuh misteri. “Kalian lucu, ya. Yang aku lihat sih justru karena kalian suka berantem kayak gini orang-orang jadi makin suka ngelihat momen kalian. Aku denger pihak TV yang nayangin acara kalian sampai minta kalian untuk sering keliatan bareng. Bener nggak, sih?”

Utahime menahan diri untuk tidak mendengus mendengar pertanyaan itu. Meski terdengar seperti pertanyaan biasa, ia menyadari bahwa pertanyaan itu menyiratkan jika momen antara Utahime dan Satoru hanya bagian dari sandiwara TV. Sungguh, Utahime ingin membuat perhitungan pada presdirnya karena memaksanya datang ke acara seperti ini. Inilah kenapa Utahime selalu menolak datang ke acara talk show jika bukan karena promosi film atau dramanya.

“Hmm... Bener sih,” Utahime menoleh cepat pada Satoru ketika laki-laki itu tiba-tiba menjawab. “Kalo nggak salah produser emang minta kita untuk lebih sering keliatan bareng, tapi seinget aku sih, aku nggak ngasih jawaban pasti mau atau enggak karena pada dasarnya, aku sama Utahime emang pasti bakalan sering keliatan bareng tanpa harus diminta.” Satoru menoleh pada Utahime. “Karena aku emang sering ngikutin Utahime biar dia sebel hahaha...”

Utahime tidak tahu harus mengapresiasi jawaban Satoru atau justru memukulnya karena jawabannya terdengar menjengkelkan baginya, tapi pada akhirnya ia ikut menanggapi sambil tersenyum simpul. “Kalo aku sih nolak, ya. Yah, kalian tau, kan, kenapa?”

Orang-orang kembali tertawa mendengar perkataan Utahime, sementara Satoru merengut sambil menyenggol bahunya dengan sikap sok akrab. Utahime tidak mengacuhkannya dan kembali menatap Keiko yang entah mengapa justru terlihat puas.

Mendadak Keiko melihat ke arah penonton. Senyumnya melebar. Tampak begitu semangat. Utahime mulai khawatir. “Kalian ngerasa nggak sih hawa-hawanya tuh mereka akan ada apa-apa? Aku dari tadi ngobrol sama mereka di sini, lihat mereka sesekali saling tatap gitu, jelas banget ngerasa mereka nih serasi dan lagi menuju ke tahap yang... hmm... aku nggak bisa perjelas atau abis acara ini selesai mereka akan dapet masalah dari agensi mereka hahahaha...”

Ular!

Sudah jelas habis ini mereka memang akan bicara dengan manajer mereka.

Saat Satoru sudah akan mengomentari perkataan Keiko agar tidak menimbulkan kesalahpahaman baru, Utahime sudah angkat bicara lebih dulu. Utahime tertawa geli. “Hahahaha... Mbak Keiko lucu banget, ya. Kapan-kapan dateng ke Eureka dong, Mbak. Penghuni di sana suka sama orang lucu lho hahaha.”

Demi Tuhan, Satoru ingin sekali menyemburkan tawa kencang detik itu juga setelah mendengar balasan Utahime yang terlampau sarkastik. Kejadian itu lebih menghibur ketika Satoru melihat bagaimana akhirnya Keiko terlihat cukup jengkel karena perkataan Utahime.

Senyum Satoru melebar.

Sungguh, Utahime Iori benar-benar menarik. ▫️▪️

➖UnuSuaL

“Hime, lo akhirnya sama si Rui nggak sih?” Pertanyaan Mei Mei menyambut Utahime ketika ia baru saja memasuki ruang TV.

Utahime tersenyum pada wanita berambut biru muda itu penuh kegelian. Untuk sesaat ia menoleh pada Satoru yang menepuk sisi kosong di sofa yang sedang diduduki laki-laki itu. Setelah menimbang sejenak, akhirnya Utahime duduk di sana.

Sambil berusaha tidak mengacuhkan ekspresi sumringah Satoru, Utahime akhirnya menanggapi Mei Mei. “Mana mungkin gue spoilerin.”

“Lagian gue gregetan banget, astaga! Apa lo bakal sama Kenzo? Atau malah nggak sama siapa-siapa?” ujar Mei Mei lagi, menggebu-gebu.

“Rahasia dong.” Utahime mengedipkan matanya dengan cengiran di bibir. Satoru terkekeh melihatnya, sementara Mei Mei hanya mendengus gusar dan kembali memusatkan perhatian pada televisi di hadapannya.

Akhirnya mereka semua fokus pada layar televisi yang tengah menampilkan adegan Utahime berlari dari kejaran polisi. Di dramanya kali ini, Utahime berperan sebagai pencuri dan penipu bernama Kaiyo yang telah menjadi buronan internasional. Seorang detektif bernama Rui yang selama lima tahun memburu Kaiyo, rupanya memiliki dua kepribadian. Kepribadian lainnya itu bernama Kenzo. Dan, Kaiyo tahu cara memancing Kenzo agar menguasai kesadaran Rui. Sampai akhirnya, Kenzo pun jatuh cinta pada Kaiyo dan mulai berusaha untuk menyingkirkan Rui.

“Kayaknya lo sering, ya, main di cerita yang genrenya action gitu,” ujar Satoru tiba-tiba dengan suara berbisik agar hanya Utahime yang bisa mendengarnya dan tidak menggangu Mei Mei yang fokus menonton.

“Iya, soalnya menarik semua ceritanya.” Utahime menjawab tanpa menatap Satoru.

Keadaan hening untuk beberapa saat, hingga Utahime kembali bersuara. Sangat rendah. Ya, ia sedang bicara dengan Satoru. “Lo tau lagu Urban Zakapa yang I Don't Love You nggak?”

Satoru memposisikan tubuhnya agar bersandar di sofa dengan lebih rileks. Tubuhnya sedikit merosot di samping Utahime, matanya menatap televisi, tapi fokusnya sepenuhnya pada suara Utahime. “Tau, kenapa?” sahutnya.

“Udah nonton MV-nya? Kalo menurut lo itu tentang apa?”

Satoru akhirnya menatap Utahime dengan sedikit mendongak. Ia memandang wajah Utahime dari samping. Mungkin saat itu ia baru menyadari bahwa tulang wajah Utahime sungguh cantik dan tegas. Ia menjawab. “Tentang cowoknya nggak sayang sama pacarnya dan dia suka sama cewek lain, kan?”

“Kalo menurut gue, iya, dia emang suka sama cewek lain. Tapi justru lagunya tuh untuk cewek yang dia suka itu.” Utahime menjelaskan. Mata cokelatnya bertemu pandang dengan mata biru Satoru yang mengingatkannya dengan keceriaan musim panas, bersama suara debur ombak dan tawa penuh kesenangan.

Utahime kembali menatap lurus ke depan. Tak ingin berlama-lama menatap mata biru itu.

Utahime kembali melanjutkan. “Dari yang gue pahamin, justru cowok itu bilang 'I don't love you' karena dia suka sama cewek itu. Lagu itu adalah sugesti si cowok ke diri dia sendiri, karena dia tau dia nggak boleh suka sama cewek itu.”

Setelah mendengar penjelasan Utahime, Satoru terdiam untuk berpikir dan memahami. Tepat ketika Utahime kembali menatapnya karena merasa Satoru tidak kunjung memberi tanggapan, Satoru mengulaskan senyuman. “Jadi maksudnya justru sebaliknya dari lirik itu, ya?” Utahime mengangguk atas pertanyaannya, “Menarik banget. Gue mau nonton lagi deh MV-nya.”

Satoru mengeluarkan ponselnya dari kantong. Ia juga mengeluarkan headset, memasangnya pada ponselnya. Utahime hanya memerhatikan, awalnya sudah akan kembali fokus pada televisi ketika Satoru menyodorkan salah satu headset padanya. “Tonton bareng, yuk.”

Tidak ada jawaban dari Utahime, wanita itu hanya mengerjap dan terlihat bingung. Bingung harus bagaimana. Apakah mendengarkan lagu dari headset yang sama tidak akan menimbulkan kesalahpahaman di saat hubungan mereka sudah begitu disorot sekarang? Lagipula mereka memang tidak akrab, sudah pasti rasanya akan sangat canggung.

Entah karena tak peduli atau tidak memahami apa yang dicemaskan Utahime, Satoru dengan santainya memasangkan satu headset pada telinga kiri Utahime sementara ia memasang pasangan lainnya pada telinga kanannya. Utahime terkejut, tapi tidak melakukan apa pun.

Satoru mendekat pada Utahime hingga bahu mereka bersentuhan. Senyum di wajahnya tak juga hilang. “Nah, Utahime, ayok, kita tonton!” seru laki-laki itu penuh semangat. Oh, tentu suaranya masih tergolong pelan. Ia sama sekali tidak berniat untuk mengganggu konsentrasi Mei Mei ketika sedang menonton drama. Wanita itu bisa sangat menyeramkan.

Ketika mereka akhirnya mulai menonton video musik Urban Zakapa yang sedang mereka bahas, Utahime lagi-lagi terkejut.

Terkejut dengan rasa nyaman yang dirasakannya. ▫️▪️


Utahime masuk ke dalam mobil. Saat baru saja duduk di kursi pengemudi, ia segera terlonjak kaget melihat Satoru Gojo sudah duduk di sisinya.

Ia mendelik pada pria itu. “Kau sedang apa di mobilku?!” geram Utahime karena dibuat terkejut, dan semakin geram ketika melihat Satoru sama sekali tidak merasa bersalah. Pria itu malah tertawa senang.

“Halo, U-ta-hi-me!” sapa pria itu dengan riang.

Senpai!” koreksi Utahime sembari memasang sabuk pengaman.

“Kau cantik sekali hari ini, Utahime.” Satoru sama sekali tidak memedulikan koreksi Utahime. Mata birunya dengan gembira memandangi wanita itu yang mengenakan gaun putih berpotongan sabrina dengan seksama. Ia bersiul sejenak dan kembali berkata. “Aku sampai tidak bisa berhenti memandangimu.”

Utahime berdecih, tidak tersentuh dengan pujian Satoru. Atau setidaknya, seakan-akan tidak tersentuh. “Simpan omong kosongmu untuk dirimu sendiri, Gojo. Aku tidak ada waktu meladenimu.” sahut Utahime dingin. Satu tangannya berada di kemudi setir, sementara tangan lainnya menyalakan mesin mobil.

Di sisi lain, Satoru merengut akibat perkataan Utahime. Ia bersikap seperti anak anjing yang mencari perhatian majikannya, tapi tentu saja Utahime justru merasa ingin memukulnya detik itu juga saat melihat aksinya itu. “Kenapa kau selalu jahat padaku, Utahime?”

Utahime mulai melajukan mobilnya. “Jaga sikapmu.”

“Tidak ada yang salah dengan sikapku!”

“Omong kosong.”

Satoru bersedekap di depan dada, ia memandang keluar jendela dan memerhatikan mereka mulai keluar dari area apartemen Utahime. “Jika sikapku baik, kau akan mencurigaiku, Utahime. Aku harus apa? Dasar wanita menyebalkan.”

“Hal terakhir yang ingin kudengar adalah disebut menyebalkan oleh orang yang paling menyebalkan. Dasar bodoh.”

“Maka hal terakhir yang ingin kudengar adalah disebut bodoh oleh orang yang paling lemah.”

Utahime seketika murka. “GOJO!!” teriaknya sembari menatap Satoru marah. Wajahnya memerah karena kekesalan. Untuk sesaat ia menunjukkan tatapan ingin mencekik Satoru, tapi tak berselang lama kemudian ia kembali fokus pada jalanan.

Satoru tergelak begitu geli di tempatnya melihat kemarahan Utahime padanya. Ia memamerkan cengiran lebarnya ketika tatapan menusuk dari Utahime kembali menghujamnya. Pria itu terlalu menikmati situasi dengan tak tahu malunya. “Hehehehehe... Baiklah, baiklah, aku minta maaf. Aku hanya bercanda, Utahime. Jangan histeris seperti itu.”

Utahime hanya diam. Terlalu malas menanggapi.

Melihat Utahime yang tidak mengacuhkannya, Satoru dengan ringannya mengelus pipi Utahime untuk menarik perhatian wanita itu. “Hei, jangan mendiamkanku, Utahime.” katanya, sama sekali tidak menyadari pipi Utahime yang merona akibat sentuhannya.

Lagi-lagi bersikap seolah apa yang dilakukan Satoru tidak memengaruhinya sedikit pun, Utahime tetap diam dan tidak memberi tanggapan berarti selain sebuah lirikan malas. Hanya sekilas, itulah mengapa Satoru tidak senang sama sekali.

“U-ta-hi-me~” panggil Satoru, masih berusaha mencari perhatian wanita di sisinya. Ia sedikit mendekat ke arah Utahime, senyuman khasnya menghias wajahnya yang diam-diam sering membuat Utahime sebal karena terlalu tampan. “Utahime, tolong katakan sesuatu. Aku tidak bisa hidup tanpa mendengar suaramu.” ucapnya lagi dengan begitu berlebihan.

Ucapan berlebihannya itu rupanya berhasil memancing bibir Utahime bergerak-gerak aneh. Sudah jelas wanita itu sedang menahan senyum. Dan, Satoru tahu itu sehingga senyumannya semakin melebar.

“Baiklah, hanya sebuah senyuman darimu sudah cukup untuk membuat hari seorang Satoru Gojo cerah.”

Utahime berdeham sesaat. “Diam, bodoh.”

Wajah Satoru terlihat puas luar biasa. “Baiklah, sekarang lebih baik. Hari ini adalah hari terbaik!”

“Ya, tentu saja hari terbaik.” komentar Utahime, sedikit kesulitan menutupi kesinisannya.

Alis Satoru terangkat. Ia memandang Utahime penuh perhatian, cemas. Suaranya melembut saat berujar, “Tampaknya hari ini kau tidak senang.”

“Tidak juga.”

“Jadi kau senang?”

“Itu lebih tidak mendekati.”

Satoru saat itu jelas tampak bingung. Utahime selalu memberikan jawaban yang tidak menjelaskan. Pria itu menghela napas. “Kau selalu sulit dipahami, Utahime.”

Saat mendengar perkataan Satoru, Utahime merasa bahwa sesuatu seperti membuatnya sulit bernapas. Ada penyesalan yang benci untuk diakui keberadaannya. Untuk mengenyahkan perasaan tak nyaman itu, Utahime akhirnya menyahut. “Sebenarnya kau yang terlalu mudah menentukan jawaban. Memangnya untuk menggambarkan keseluruhan suasana hati seseorang, jawabannya hanya terbagi menjadi senang atau tidak?”

Utahime Iori selalu menjadi pertanyaan dari segala tanya. Satoru selalu mengatakan itu pada dirinya sendiri. Utahime tahu, tapi ia tak menginginkannya. Ia tak mencarinya.

Satoru terdiam selama beberapa saat yang ia gunakan untuk memerhatikan Utahime dengan mata birunya yang begitu dalam. Tanpa ia tahu, Utahime merasa seolah samudra perlahan melahapnya, menelannya sedikit demi sedikit.

Ketidakberdayaan membuat Utahime lebih melihat realita.

“Apakah ini pertanda bahwa kau kini memberiku kesempatan untuk memahamimu? Apakah ini saat bagiku untuk berhenti bertanya-tanya mengenai dirimu tanpa jawaban berarti?” tanya Satoru akhirnya. Suaranya terdengar lembut, tapi ada keputusasaan di dalamnya.

Anehnya, Utahime-lah yang paling putus asa kala itu.

Ada hening bersama tekanan yang semerbak di antara mereka. Utahime menciptakan suasana itu untuk dirinya sendiri. Hukuman. “Memberimu kesempatan? Tentu tidak. Sudah habis waktuku. Tapi, saat bagimu untuk berhenti bertanya-tanya? Ya, ini saatnya.”

Di balik suara lirihnya yang penuh kegamangan, kalimat Satoru terdengar seperti bisikan. “Aku tidak tahu apakah itu hal yang baik atau buruk.”

“Bagaimana jika kukatakan bahwa sekarang adalah giliranku untuk melakukan hal yang kau lakukan?” Utahime menoleh, bertemu pandang dengan samudra biru yang menenggelamkannya.

Terus tenggelam.

Menuju kegelapan.

“Hal yang kulakukan? Memikirkanmu?” tanya Satoru, tak benar-benar paham.

Utahime tersenyum kecil sembari mengalihkan pandangan kembali ke jalan raya. “Ya, memikirkanmu, Gojo.”

Senyum Gojo merekah sempurna. Kebahagiaannya sama sekali tak ingin ditutupinya. Atau, kebahagiaan Utahime. “Aku senang dengan gagasan itu. Lalu, apa lagi?” ucapnya, sepenuhnya bersemangat.

“Katakan saja.”

“Merindukanmu?”

Utahime terkekeh samar. Geli melihat perpaduan ekspresi senang Satoru dan perkataan pria itu. Tubuhnya menjadi rileks, sangat nyaman dengan atmosfer di antara mereka saat itu. “Baiklah, aku akan merindukanmu.”

Satoru tertawa senang. Ia semakin menggebu-gebu. “Bagaimana dengan menginginkanku?”

Jeda sejenak. Utahime menoleh pada Satoru. “Kau menginginkanku?”

Satoru menampakkan ekspresi terkejut yang dibuat-buat. Pria itu bersikap sarkastik sekarang. Sebab baginya, ucapan Utahime tidak lebih dari pertanyaan retoris. “Aku terkejut kau tidak mengetahuinya.” cetusnya kemudian.

Utahime tak bisa menahan rasa jengah dan putaran pada matanya. “Kurasa kau hanya berusaha untuk membuatku berpikir demikian.”

Melihat bagaimana Utahime begitu skeptis terhadap perasaannya, Satoru segera memberi penegasan. Utahime butuh itu. “Tidak. Aku bersungguh-sungguh. Aku menginginkanmu, Utahime. Aku yakin di dunia ini hanya kau yang tidak mengetahuinya.”

Utahime tidak menjawab. Pegangannya pada setir kemudi menguat. Matanya mulai terasa perih.

“Mungkin kau memang tidak ingin mengetahuinya.” Satoru kembali berucap nanar.

Setelah menelan ludahnya untuk membersihkan kepahitan di tenggorokannya, Utahime akhirnya kembali menemukan suaranya. Bibirnya sedikit bergetar saat mengatakan, “Maafkan aku, Gojo...”

Satoru tersenyum menenangkan. Ia membelai rambut Utahime dengan lembut, memberi kehangatan yang selalu Utahime sukai sekaligus benci darinya. Kehangatan yang kini menjadi bagian dari fantasi Utahime Iori.

“Tidak apa. Sekarang kau juga menginginkanku, bukan? Sebab, itulah hal yang kulakukan; menginginkanmu setiap saat.” Satoru mencari kepastian. Kepastian yang juga dicari Utahime di dalam dirinya sendiri. Mengais.

Namun Utahime menyadari hal penting yang akhir-akhir ini sulit diterimanya; waktu dan pilihan. Utahime menghela napas dalam, berusaha tetap bersikap logis. “Entah hal yang kau katakan kenyataan atau ilusi semata, bagaimanapun juga sekarang memang giliranku.”

Tangan Satoru turun dari kepala Utahime seiring dengan kalimat wanita itu memenuhi pendengarannya. Kini tangan itu terkepal di atas pahanya. Pria itu berusaha menciptakan keyakinan untuk Utahime yang mengemis atas hal itu. Dan yang bisa dilakukan Satoru adalah memberikan apa yang diinginkan Utahime.

Kepalan tangan Satoru menguat bersama kerasnya Utahime menggenggam kemudi setirnya. “Kau mungkin sulit memercayai ucapanku, tapi kaulah yang paling tahu seberapa kuat kau menutup matamu dari bagaimana aku berusaha atas hal-hal mengenai dirimu.”

Jiwa Utahime tersentak begitu keras. Pegangannya mengendur. Kerapuhan perlahan melingkupinya. “Aku tidak benar-benar yakin pada perasaanmu saat itu.”

“Lalu bagaimana dengan sekarang?” tanya Satoru.

“Aku lebih tidak yakin pada diriku sendiri.”

“Kenapa?”

“Karena... aku terlambat atas banyak hal.” aku Utahime setelah banyak tahun berlalu secepat kedipan mata dan membuang banyak hal berharga yang kini membuat Utahime rela menjual hidupnya untuk mendapatkannya.

Menyedihkan.

Satoru kembali membagi senyum menenangkan miliknya kepada Utahime. Ia menangkup tangan Utahime yang berada di atas kemudi, mengelusnya sejenak sembari berkata, “Itulah mengapa aku ada di sini, Utahime. Kau mulai menerima semuanya meski terlambat. Aku di sini untuk menerimamu dalam keterlambatan.”

“Juga dalam kemustahilan?”

“Akulah kemustahilan, Utahime.”

Utahime menepis tangan Satoru sembari tertawa mencemooh karena ucapan angkuh pria itu. Ia menyahut dengan decihan. “Cih, arogan sekali.”

Satoru tergelak begitu geli akibat tanggapan Utahime. “Hahahaha... Kau yang menciptakan kemustahilan itu, ingat?”

Utahime meringis. “Terlalu miris untuk mengakuinya.”

Senyum di wajah Satoru terkembang. “Aku di sini. Fakta itu sendiri adalah jawaban yang paling kau kuasai. Kau tidak harus menyuratkannya dalam penalaranmu, Utahime. Kau hanya perlu menerimanya.”

Dengusan lolos keluar dari hidung Utahime. Wajahnya tidak terlihat senang sama sekali. Ia jengkel luar biasa. “Baiklah, kau benar. Aku membencimu karena kau tahu segalanya.”

Seringaian licik memenuhi bibir Satoru. Ia mencondongkan tubuhnya ke arah Utahime, dan berbisik menggoda, “Maksudmu mencintaiku?”

“Diamlah, brengsek.”

“Kita tahu bahwa aku benar.”

Utahime memutar matanya. Arogansinya sungguh tidak pernah luntur hingga akhir, pikir Utahime. “Terserahlah.”

“Aku juga mencintaimu, Utahime.”

Utahime tertegun sejenak. Ia menoleh pada Satoru, dan tersenyum kecil pada pria yang kini juga tengah tersenyum padanya dengan senyum yang sangat Utahime kenal. Senyum yang hanya pria itu berikan padanya. Senyum yang membuat Utahime merasa menjadi dunia bagi Satoru Gojo.

Senyum yang selalu tersimpan manis di dalam memorinya.

Kemudian Utahime kembali memandang ke depan. Senyumnya tak pernah lepas dari bibirnya. “Yah, mungkin hari ini tidak seburuk itu.”

“Apakah ini bentuk rayuanmu?” gurau Satoru. Ada kekehan jahil di akhir kalimatnya.

Utahime segera memekik keras. “AKU TIDAK MERAYUMU!”

Dengan tak tahu malunya Satoru berdecak sebal. Ekspresinya terlihat murung. “Sekarang aku kecewa. Ayolah, rayu aku, Utahime.”

“Pembicaraan bodoh.” tukas Utahime ketus. Meski tampak kesal, tapi pipinya perlahan-lahan memiliki semu merah. Ia tidak bisa menahan malu melihat sikap Satoru saat itu.

Melihat tanggapan Utahime, Satoru semakin bersemangat melancarkan godaan. Dan, Utahime tahu itu. Ia tahu Satoru akan selalu seperti itu. “Kau menyukai pembicaraan ini, Utahime.”

“Diam atau aku akan menjambak rambut putih bodohmu itu.”

“Tapi kau selalu ingin mengelus rambut putih bodoh ini, Utahime.”

“GOJO!!”

Satoru tidak bisa menahan tawanya yang akhirnya menguar di sana dengan keras. Tawanya terdengar renyah di telinga Utahime. Wanita itu menyukainya. Semakin. “Baiklah, karena kau menggemaskan aku akan menurutimu. Kau puas, Utahime?” Itulah ucapan terakhir Satoru sebelum akhirnya ia menatap keluar jendela dengan wajah merengut.

Utahime melirik pria dewasa yang sesaat lalu tertawa keras dan sekarang merajuk dalam hitungan detik. Sekuat tenaga ia menahan senyuman geli terulas di bibirnya. Melihat sisi seorang Satoru Gojo yang kekanakan memang menyebalkan, tapi ada perasaan terhibur yang tidak bisa dihilangkan Utahime. Pria itu terlalu menarik.

Setelah beberapa saat, Utahime akhirnya membuka suara. “Apakah sekarang kita terikat?” Ia sangat penasaran tentang apa yang mereka miliki sekarang. Ia butuh kejelasan atas dirinya sendiri.

Satoru memandangnya. Cengiran lebar memenuhi wajah arogannya yang mengesalkan. “Selamat, Utahime, aku terikat padamu begitu erat sekarang. Kau pasti bahagia hingga ingin tersenyum seperti orang sinting.”

Seperti orang sinting? Tidak. Utahime sudah sinting.

Setelah mendesah panjang yang sarat akan rasa lelah, Utahime menanggapi dengan malas. “Aku sudah cukup bicara denganmu. Sekarang diam.”

“WANITA KEJAM!” seru Satoru yang kebetulan pada saat itu mereka sudah tiba di tempat tujuan.

Setelah memarkirkan mobil, Utahime menatap pria di sampingnya sesaat, lalu mematikan mesin. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia melangkah keluar dari mobil. Tentu saja Satoru mengikutinya.

Mereka berjalan masuk ke bangunan di hadapan keduanya. Mereka berjalan bersama orang-orang yang datang dan menuju tempat yang sama. Orang-orang itu saling berbagi sapa dan suka.

Utahime tersenyum ketika melihat para rekan kerjanya. Ia menyapa mereka dengan ramah sembari terus melangkah. Senyum semakin melebar hingga deretan giginya terlihat ketika ia merasakan tangan Satoru melingkupi tangannya, menggenggamnya begitu erat dan memberinya asa dan angan.

Bahwa ia akan bahagia bersama tangan itu.

Utahime dan Satoru duduk berdampingan saat memasuki altar. Shoko yang tiba beberapa saat kemudian duduk di sisinya yang lain setelah memberinya pelukan singkat yang begitu hangat.

Utahime mulai merasa jantungnya berdegup lebih cepat ketika himne pernikahan mulai bergaung. Semua tamu bangkit berdiri dari duduknya. Mendatangi pernikahan selalu membuat Utahime iri dan mempertanyakan dirinya sendiri. Kapan ia akan merasakannya?

Mungkin pertanyaan sebenarnya adalah: apakah ia akan merasakannya?

Tetapi ibu jari Satoru yang mengelus punggung tangannya langsung mengalihkan Utahime dari pikiran negatifnya. Sentuhan itu sungguh menenangkan hingga ia merasakan keinginan kuat untuk bersandar pada Satoru dan sepenuhnya tenggelam dalam perasaannya yang meluap untuk pria itu. Namun ia tahu, ia tak mungkin melakukannya.

Pintu altar akhirnya terbuka. Utahime berpandangan sejenak pada Shoko. Kemudian dengan cepat ia mengalihkan tatapan ke arah lain. Pada samudra biru Satoru yang kini juga tengah menatapnya begitu dalam.

Pria itu tersenyum pada Utahime. Begitu cerah, seperti biasanya. Utahime membalas senyuman itu, tetapi kesulitan untuk sungguh-sungguh memiliki kecerahan yang sama persis.

Satoru tidak ambil pusing pada senyum milik Utahime. Senyumannya berubah ketika pria itu menyapukan pandangan ke arah lain. Senyuman yang menampakkan siapa dunia seorang Satoru Gojo. Senyuman yang diberikannya pada wanita yang digenggamnya.

Genggaman Utahime menguat. Genggamannya pada kehampaan udara yang terjalin di antara jemarinya.

Ia menoleh ke samping.

Gojo-nya tak pernah ada di sana.

***

Jiwa kita rekat. Raga kita bayang. Mengabur dirimu; kenyataan bagiku.


“Bagaimana?”

Satoru mengalihkan tatapan dari majalah di pangkuannya, dan menatap gadis di hadapannya. Menatap Utahime Iori yang baru saja keluar dari ruang ganti dan berdiri di hadapannya, memintanya untuk memberi penilaian atas penampilannya kala itu.

Dan seketika itu Satoru terpaku sepenuhnya.

Tidak mampu melakukan apa pun selain membisu dan terpana begitu dalam.

Selama seumur hidup Satoru, mungkin pemandangan Utahime dengan gaun pengantin membalut tubuhnya adalah hal terbaik yang pernah dilihatnya. Gadis itu begitu sempurna hingga Satoru tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat itu selain mengaguminya dalam diam.

Ya, sebesar itulah cintanya untuk Utahime Iori.

“Hei, jawab aku, Satoru! Jangan diam saja!” dengus Utahime tak sabaran karena Satoru tidak kunjung mengatakan sesuatu atas penampilannya saat itu.

Satoru tertawa kecil. Ia bangkit dari duduknya, lalu melangkah mendekat sembari bersuara. “Apakah kau nyaman dengan gaun ini?”

Utahime menunduk, memerhatikan tubuhnya sejenak sebelum kembali menatap Satoru. “Hmm... Sebenarnya aku sudah cukup nyaman. Lagipula memang inilah yang aku rancang sendiri—denganmu, ingat? Tapi sepertinya...” Utahime menunjukkan bagian pinggangnya pada Satoru, dan Satoru segera melihatnya dengan seksama. “Bagian ini agak sedikit kurang pas. Bagaimana menurutmu?”

Satoru menyentuh bagian yang ditunjuk Utahime sejenak agar lebih memahaminya. Ia mengangguk. “Agak longgar, ya? Tapi sebenarnya tidak terlihat. Tapi kau ingin memperbaiki bagian itu?”

Utahime mengangguk.

Satoru tersenyum lebar. “Baiklah, apakah ada lagi yang ingin kau perbaiki?”

Utahime terdiam sejenak. Ia memandang Satoru. “Kau belum mengatakan penilaianmu mengenai penampilanku. Apakah sungguh-sungguh terlihat biasa saja?”

Satoru tertawa kencang karena merasa perkataan Utahime begitu menggelikan. Terutama karena ekspresi sedih yang ditampakkan gadis itu detik ini. Menggemaskan sekali sampai Satoru akhirnya tidak bisa menahan tangannya untuk tidak mengacak puncak kepala Utahime.

Utahime sudah akan marah karena Satoru membuat rambutnya berantakan, namun semua omelannya menguap ketika tangan Satoru berpindah pada wajahnya dan mengelusnya begitu lembut.

Tatapan dari langit musim panas dalam iris Satoru begitu lembut dan menghangatkan. Dan lagi-lagi, Utahime membenci langit itu yang membuatnya tenang.

“Apakah ada yang lebih sempurna dari seorang Utahime Iori dengan gaun pengantin?”

Suara Satoru mengalun dalam hening yang mereka ciptakan.

Utahime tidak menjawab, tapi gadis itu tersenyum puas. Ia menyentuh tangan Satoru yang masih menangkup wajahnya. Senyumnya melebar hingga deretan giginya terlihat bersama binar mata cokelat kelamnya yang penuh rahasia.

Sayangnya Utahime begitu sibuk dengan rasa senangnya hingga ia tidak menyadari betapa keras Satoru kembali terpesona karena hal-hal sederhana itu.

“Terima kasih, Satoru. Aku senang akhir-akhir ini kau bersikap normal dan tidak menyebalkan,” tanggap Utahime dengan sedikit gurauan. Ia menepuk pipi Satoru pelan, kemudian melangkah menjauh untuk meraih ponselnya di kursi yang sebelumnya diduduki Satoru. Sentuhan Satoru pada wajahnya terlepas.

“Karena hari pernikahan sudah semakin dekat, aku hanya ingin membuatmu percaya diri. Bagaimana? Apakah cukup membantu?” ucap Satoru di balik punggung Utahime yang sekarang sedang sibuk dengan ponselnya.

Tanpa menoleh, Utahime terkekeh. “Kata-katamu itu justru membuatku mempertanyakan setiap pujianmu padaku, bodoh! Apakah semua itu hanya bualan belaka?”

“Tidak.”

Utahime akhirnya memandangnya. “Tidak, apa?”

Satoru menghela napas sejenak sebelum melangkah mendekati Utahime, dan menjawab. “Semua yang kukatakan, aku sungguh-sungguh dengan semua itu. Kau tahu, Utahime? Banyak pria rela melakukan apa pun untuk dapat melihatmu berpenampilan seperti ini dan dengan bangganya memanggilmu sebagai pengantin mereka.”

Utahime tertegun.

“Aku hanya ingin kau tahu,” Satoru menatap lekat manik cokelat karamel di hadapannya, kemudian beralih memandang setiap inci wajah Utahime dengan seksama. Lalu menyimpan memori itu dalam hatinya. “Kau adalah hal terbaik yang bisa dimiliki pria mana pun. Kau begitu indah dan tidak bisa tergambarkan. Kau adalah fantasi yang selalu terasa mustahil untuk digapai. Jadi percaya dirilah. Kau akan menjadi pengantin tercantik yang pernah ada.”

Untuk sesaat Utahime tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Langit biru yang menatapnya saat itu tidak memancarkan kehangatan lagi.

Mata itu melukainya.

Tapi Utahime memaksakan diri untuk berkata meski dengan suara tercekat. “Bagaimana denganmu?”

Ada sunyi yang terasa begitu panjang.

Satoru tidak bisa menggambarkan bagaimana detik itu sesuatu terasa menghantam perutnya dan menyakitinya, membuatnya sesak napas untuk bisa mengatakan apa yang disimpannya.

Sampai akhirnya, Satoru terpaksa kembali berpijak pada kenyataan.

Kenyataannya.

“Pengantinku cantik sekali.”

Utahime menoleh ketika mendengar suara itu.

Senyum otomatis terbit pada bibir ranumnya sementara matanya berkilat-kilat senang sambil memandang Suguru Getou yang mendekatinya. Melihat pemandangan itu, Satoru segera menelan segala kata yang sempat nyaris diucapkannya, memendamnya kembali di dalam ruang yang tak ingin diakuinya.

Bibir Satoru mengulaskan senyuman ceria. Bibir yang sama yang mengulum pahit penuh ketidakberdayaan.

Utahime melangkah menghampiri Suguru, meninggalkan Satoru di tempatnya berpijak bersama kegamangan dalam sorot mata birunya yang cerah namun tanpa terik.

Satoru hanya berdiri di belakang Utahime sambil berusaha kuat untuk tidak memeluknya, menariknya. Meminta Utahime Iori untuk memandangnya. Sekali saja.

Tapi Satoru hanya diam.

Diam.

Dan diam.

Seperti yang selama ini selalu dilakukannya. Satu-satunya hal yang bisa dilakukannya.

Begitu menyedihkan.

Begitu putus asa.

Satoru tertawa geli.

Seakan menertawakan bagaimana konyolnya penampakkan Utahime dan Suguru yang saling tergila-gila terhadap satu sama lain, tapi sebenarnya menertawakan betapa menyedihkan dirinya karena harus menyaksikan semua itu. “Baiklah, baiklah, karena calon suamimu sudah datang, aku harus pergi, Hime,” cetusnya pada Utahime. Utahime tidak menyahut, dan Satoru beralih pada Suguru. “Lakukan tugasmu dengan benar, bodoh!”

Suguru mendengus, tapi kemudian terkikik renyah. “Ya, maaf merepotkanmu. Rapatnya berjalan lebih lama dari yang kuduga. Tapi, terima kasih, Satoru. Di saat seperti inilah aku senang mengakuimu sebagai sahabatku.” gurau Suguru.

Satoru tergelak dengan kejengkelan. “Dasar sialan! Sudahlah, aku pergi, ya. Temanku sudah menunggu—Oh ya, aku akan memanggil pegawai butik dan menyampaikan keinginanmu, Hime.” Ia kembali menatap Utahime.

Utahime tersenyum kecil. “Terima kasih, Satoru.”

Satoru tersenyum lebar. Begitu ceria. Tapi tanpa siapa pun ketahui, jauh di dasar senyumannya, pria itu meminta tolong untuk diselamatkan.

“Dengan senang hati bisa membantu. Sampai jumpa di hari pernikahan!”

Setelah itu Satoru berlalu dari hadapan keduanya. Suguru segera memeluk Utahime karena tidak tahan melihat betapa memesona calon istrinya itu. Sedangkan Utahime memerhatikan punggung Satoru yang terus melangkah menjauh dalam kesendirian.

Dari kaca jendela besar butik, Utahime melihat Satoru akhirnya melangkah keluar dari butik itu, menembus udara dingin malam hari bersama salju yang terus berjatuhan menyentuh rambut putihnya.

Hawa dingin menusuk sendi. Membekukan setiap tetes air yang mengalir di permukaan. Membekukan setiap ranting. Membekukan setiap embun.

Di detik yang sama, ada yang berharap hawa dingin juga dapat membekukan perasaannya.

Sebab, Utahime sangat ingin memeluk Satoru melebihi apa pun di dunia ini.

Jiwa pria itu menggigil dalam dingin. Begitu kesepian dan kesakitan.

Utahime tahu itu.

Tapi ia hanya diam.

Diam.

Dan diam.

Seperti yang selama ini selalu dilakukannya.

Ya, fantasi yang mustahil untuk digapai.

***

I don’t love you. You probably already know. Even if you cry, my heart doesn’t hurt – Urban Zakapa (I Don't Love You)


“Bagaimana?”

Satoru mengalihkan tatapan dari majalah di pangkuannya, dan menatap gadis di hadapannya. Menatap Utahime Iori yang baru saja keluar dari ruang ganti dan berdiri di hadapannya, memintanya untuk memberi penilaian atas penampilannya kala itu.

Dan seketika itu Satoru terpaku sepenuhnya.

Tidak mampu melakukan apa pun selain membisu dan terpana begitu dalam.

Selama seumur hidup Satoru, mungkin pemandangan Utahime dengan gaun pengantin membalut tubuhnya adalah hal terbaik yang pernah dilihatnya. Gadis itu begitu sempurna hingga Satoru tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat itu selain mengaguminya dalam diam.

Ya, sebesar itulah cintanya untuk Utahime Iori.

“Hei, jawab aku, Satoru! Jangan diam saja!” dengus Utahime tak sabaran karena Satoru tidak kunjung mengatakan sesuatu atas penampilannya saat itu.

Satoru tertawa kecil. Ia bangkit dari duduknya, lalu melangkah mendekat sembari bersuara. “Apakah kau nyaman dengan gaun ini?”

Utahime menunduk, memerhatikan tubuhnya sejenak sebelum kembali menatap Satoru. “Hmm... Sebenarnya aku sudah cukup nyaman. Lagipula memang inilah yang aku rancang sendiri—denganmu, ingat? Tapi sepertinya...” Utahime menunjukkan bagian pinggangnya pada Satoru, dan Satoru segera melihatnya dengan seksama. “Bagian ini agak sedikit kurang pas. Bagaimana menurutmu?”

Satoru menyentuh bagian yang ditunjuk Utahime sejenak agar lebih memahaminya. Ia mengangguk. “Agak longgar, ya? Tapi sebenarnya tidak terlihat. Tapi kau ingin memperbaiki bagian itu?”

Utahime mengangguk.

Satoru tersenyum lebar. “Baiklah, apakah ada lagi yang ingin kau perbaiki?”

Utahime terdiam sejenak. Ia memandang Satoru. “Kau belum mengatakan penilaianmu mengenai penampilanku. Apakah sungguh-sungguh terlihat biasa saja?”

Satoru tertawa kencang karena merasa perkataan Utahime begitu menggelikan. Terutama karena ekspresi sedih yang ditampakkan gadis itu detik ini. Menggemaskan sekali sampai Satoru akhirnya tidak bisa menahan tangannya untuk tidak mengacak puncak kepala Utahime.

Utahime sudah akan marah karena Satoru membuat rambutnya berantakan, namun semua omelannya menguap ketika tangan Satoru berpindah pada wajahnya dan mengelusnya begitu lembut.

Tatapan dari langit musim panas dalam iris Satoru begitu lembut dan menghangatkan. Dan lagi-lagi, Utahime membenci langit itu yang membuatnya tenang.

“Apakah ada yang lebih sempurna dari seorang Utahime Iori dengan gaun pengantin?”

Suara Satoru mengalun dalam hening yang mereka ciptakan.

Utahime tidak menjawab, tapi gadis itu tersenyum puas. Ia menyentuh tangan Satoru yang masih menangkup wajahnya. Senyumnya melebar hingga deretan giginya terlihat bersama binar mata cokelat kelamnya yang penuh rahasia.

Sayangnya Utahime begitu sibuk dengan rasa senangnya hingga ia tidak menyadari betapa keras Satoru kembali terpesona karena hal-hal sederhana itu.

“Terima kasih, Satoru. Aku senang akhir-akhir ini kau bersikap normal dan tidak menyebalkan,” tanggap Utahime dengan sedikit gurauan. Ia menepuk pipi Satoru pelan, kemudian melangkah menjauh untuk meraih ponselnya di kursi yang sebelumnya diduduki Satoru. Sentuhan Satoru pada wajahnya terlepas.

“Karena hari pernikahan sudah semakin dekat, aku hanya ingin membuatmu percaya diri. Bagaimana? Apakah cukup membantu?” ucap Satoru di balik punggung Utahime yang sekarang sedang sibuk dengan ponselnya.

Tanpa menoleh, Utahime terkekeh. “Kata-katamu itu justru membuatku mempertanyakan setiap pujianmu padaku, bodoh! Apakah semua itu hanya bualan belaka?”

“Tidak.”

Utahime akhirnya memandangnya. “Tidak, apa?”

Satoru menghela napas sejenak sebelum melangkah mendekati Utahime, dan menjawab. “Semua yang kukatakan, aku sungguh-sungguh dengan semua itu. Kau tahu, Utahime? Banyak pria rela melakukan apa pun untuk dapat melihatmu berpenampilan seperti ini dan dengan bangganya memanggilmu sebagai pengantin mereka.”

Utahime tertegun.

“Aku hanya ingin kau tahu,” Satoru menatap lekat manik cokelat karamel di hadapannya, kemudian beralih memandang setiap inci wajah Utahime dengan seksama. Lalu menyimpan memori itu dalam hatinya. “Kau adalah hal terbaik yang bisa dimiliki pria mana pun. Kau begitu indah dan tidak bisa tergambarkan. Kau adalah fantasi yang selalu terasa mustahil untuk digapai. Jadi percaya dirilah. Kau akan menjadi pengantin tercantik yang pernah ada.”

Untuk sesaat Utahime tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Langit biru yang menatapnya saat itu tidak memancarkan kehangatan lagi.

Mata itu melukainya.

Tapi Utahime memaksakan diri untuk berkata meski dengan suara tercekat. “Bagaimana denganmu?”

Ada sunyi yang terasa begitu panjang.

Satoru tidak bisa menggambarkan bagaimana detik itu sesuatu terasa menghantam perutnya dan menyakitinya, membuatnya sesak napas untuk bisa mengatakan apa yang disimpannya.

Sampai akhirnya, Satoru terpaksa kembali berpijak pada kenyataan.

Kenyataannya.

“Pengantinku cantik sekali.”

Utahime menoleh ketika mendengar suara itu.

Senyum otomatis terbit pada bibir ranumnya sementara matanya berkilat-kilat senang sambil memandang Suguru Getou yang mendekatinya. Melihat pemandangan itu, Satoru segera menelan segala kata yang sempat nyaris diucapkannya, memendamnya kembali di dalam ruang yang tak ingin diakuinya.

Bibir Satoru mengulaskan senyuman ceria. Bibir yang sama yang mengulum pahit penuh ketidakberdayaan.

Utahime melangkah menghampiri Suguru, meninggalkan Satoru di tempatnya berpijak bersama kegamangan dalam sorot mata birunya yang cerah namun tanpa terik.

Satoru hanya berdiri di belakang Utahime sambil berusaha kuat untuk tidak memeluknya, menariknya. Meminta Utahime Iori untuk memandangnya. Sekali saja.

Tapi Satoru hanya diam.

Diam.

Dan diam.

Seperti yang selama ini selalu dilakukannya. Satu-satunya hal yang bisa dilakukannya.

Begitu menyedihkan.

Begitu putus asa.

Satoru tertawa geli.

Seakan menertawakan bagaimana konyolnya penampakkan Utahime dan Suguru yang saling tergila-gila terhadap satu sama lain, tapi sebenarnya menertawakan betapa menyedihkan dirinya karena harus menyaksikan semua itu. “Baiklah, baiklah, karena calon suamimu sudah datang, aku harus pergi, Hime,” cetusnya pada Utahime. Utahime tidak menyahut, dan Satoru beralih pada Suguru. “Lakukan tugasmu dengan benar, bodoh!”

Suguru mendengus, tapi kemudian terkikik renyah. “Ya, maaf merepotkanmu. Rapatnya berjalan lebih lama dari yang kuduga. Tapi, terima kasih, Satoru. Di saat seperti inilah aku senang mengakuimu sebagai sahabatku.” gurau Suguru.

Satoru tergelak dengan kejengkelan. “Dasar sialan! Sudahlah, aku pergi, ya. Temanku sudah menunggu—Oh ya, aku akan memanggil pegawai butik dan menyampaikan keinginanmu, Hime.” Ia kembali menatap Utahime.

Utahime tersenyum kecil. “Terima kasih, Satoru.”

Satoru tersenyum lebar. Begitu ceria. Tapi tanpa siapa pun ketahui, jauh di dasar senyumannya, pria itu meminta tolong untuk diselamatkan.

“Dengan senang hati bisa membantu. Sampai jumpa di hari pernikahan!”

Setelah itu Satoru berlalu dari hadapan keduanya. Suguru segera memeluk Utahime karena tidak tahan melihat betapa memesona calon istrinya itu. Sedangkan Utahime memerhatikan punggung Satoru yang terus melangkah menjauh dalam kesendirian.

Dari kaca jendela besar butik, Utahime melihat Satoru akhirnya melangkah keluar dari butik itu, menembus udara dingin malam hari bersama salju yang terus berjatuhan menyentuh rambut putihnya.

Hawa dingin menusuk sendi. Membekukan setiap tetes air yang mengalir di permukaan. Membekukan setiap ranting. Membekukan setiap embun.

Di detik yang sama, ada yang berharap hawa dingin juga dapat membekukan perasaannya.

Sebab, Utahime sangat ingin memeluk Satoru melebihi apa pun di dunia ini.

Jiwa pria itu menggigil dalam dingin. Begitu kesepian dan kesakitan.

Utahime tahu itu.

Tapi ia hanya diam.

Diam.

Dan diam.

Seperti yang selama ini selalu dilakukannya.

Ya, fantasi yang mustahil untuk digapai.

***

I don’t love you. You probably already know. Even if you cry, my heart doesn’t hurt – Urban Zakapa (I Don't Love You)