➖Same Sun
“Bagaimana?”
Satoru mengalihkan tatapan dari majalah di pangkuannya, dan menatap gadis di hadapannya. Menatap Utahime Iori yang baru saja keluar dari ruang ganti dan berdiri di hadapannya, memintanya untuk memberi penilaian atas penampilannya kala itu.
Dan seketika itu Satoru terpaku sepenuhnya.
Tidak mampu melakukan apa pun selain membisu dan terpana begitu dalam.
Selama seumur hidup Satoru, mungkin pemandangan Utahime dengan gaun pengantin membalut tubuhnya adalah hal terbaik yang pernah dilihatnya. Gadis itu begitu sempurna hingga Satoru tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat itu selain mengaguminya dalam diam.
Ya, sebesar itulah cintanya untuk Utahime Iori.
“Hei, jawab aku, Satoru! Jangan diam saja!” dengus Utahime tak sabaran karena Satoru tidak kunjung mengatakan sesuatu atas penampilannya saat itu.
Satoru tertawa kecil. Ia bangkit dari duduknya, lalu melangkah mendekat sembari bersuara. “Apakah kau nyaman dengan gaun ini?”
Utahime menunduk, memerhatikan tubuhnya sejenak sebelum kembali menatap Satoru. “Hmm... Sebenarnya aku sudah cukup nyaman. Lagipula memang inilah yang aku rancang sendiri—denganmu, ingat? Tapi sepertinya...” Utahime menunjukkan bagian pinggangnya pada Satoru, dan Satoru segera melihatnya dengan seksama. “Bagian ini agak sedikit kurang pas. Bagaimana menurutmu?”
Satoru menyentuh bagian yang ditunjuk Utahime sejenak agar lebih memahaminya. Ia mengangguk. “Agak longgar, ya? Tapi sebenarnya tidak terlihat. Tapi kau ingin memperbaiki bagian itu?”
Utahime mengangguk.
Satoru tersenyum lebar. “Baiklah, apakah ada lagi yang ingin kau perbaiki?”
Utahime terdiam sejenak. Ia memandang Satoru. “Kau belum mengatakan penilaianmu mengenai penampilanku. Apakah sungguh-sungguh terlihat biasa saja?”
Satoru tertawa kencang karena merasa perkataan Utahime begitu menggelikan. Terutama karena ekspresi sedih yang ditampakkan gadis itu detik ini. Menggemaskan sekali sampai Satoru akhirnya tidak bisa menahan tangannya untuk tidak mengacak puncak kepala Utahime.
Utahime sudah akan marah karena Satoru membuat rambutnya berantakan, namun semua omelannya menguap ketika tangan Satoru berpindah pada wajahnya dan mengelusnya begitu lembut.
Tatapan dari langit musim panas dalam iris Satoru begitu lembut dan menghangatkan. Dan lagi-lagi, Utahime membenci langit itu yang membuatnya tenang.
“Apakah ada yang lebih sempurna dari seorang Utahime Iori dengan gaun pengantin?”
Suara Satoru mengalun dalam hening yang mereka ciptakan.
Utahime tidak menjawab, tapi gadis itu tersenyum puas. Ia menyentuh tangan Satoru yang masih menangkup wajahnya. Senyumnya melebar hingga deretan giginya terlihat bersama binar mata cokelat kelamnya yang penuh rahasia.
Sayangnya Utahime begitu sibuk dengan rasa senangnya hingga ia tidak menyadari betapa keras Satoru kembali terpesona karena hal-hal sederhana itu.
“Terima kasih, Satoru. Aku senang akhir-akhir ini kau bersikap normal dan tidak menyebalkan,” tanggap Utahime dengan sedikit gurauan. Ia menepuk pipi Satoru pelan, kemudian melangkah menjauh untuk meraih ponselnya di kursi yang sebelumnya diduduki Satoru. Sentuhan Satoru pada wajahnya terlepas.
“Karena hari pernikahan sudah semakin dekat, aku hanya ingin membuatmu percaya diri. Bagaimana? Apakah cukup membantu?” ucap Satoru di balik punggung Utahime yang sekarang sedang sibuk dengan ponselnya.
Tanpa menoleh, Utahime terkekeh. “Kata-katamu itu justru membuatku mempertanyakan setiap pujianmu padaku, bodoh! Apakah semua itu hanya bualan belaka?”
“Tidak.”
Utahime akhirnya memandangnya. “Tidak, apa?”
Satoru menghela napas sejenak sebelum melangkah mendekati Utahime, dan menjawab. “Semua yang kukatakan, aku sungguh-sungguh dengan semua itu. Kau tahu, Utahime? Banyak pria rela melakukan apa pun untuk dapat melihatmu berpenampilan seperti ini dan dengan bangganya memanggilmu sebagai pengantin mereka.”
Utahime tertegun.
“Aku hanya ingin kau tahu,” Satoru menatap lekat manik cokelat karamel di hadapannya, kemudian beralih memandang setiap inci wajah Utahime dengan seksama. Lalu menyimpan memori itu dalam hatinya. “Kau adalah hal terbaik yang bisa dimiliki pria mana pun. Kau begitu indah dan tidak bisa tergambarkan. Kau adalah fantasi yang selalu terasa mustahil untuk digapai. Jadi percaya dirilah. Kau akan menjadi pengantin tercantik yang pernah ada.”
Untuk sesaat Utahime tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Langit biru yang menatapnya saat itu tidak memancarkan kehangatan lagi.
Mata itu melukainya.
Tapi Utahime memaksakan diri untuk berkata meski dengan suara tercekat. “Bagaimana denganmu?”
Ada sunyi yang terasa begitu panjang.
Satoru tidak bisa menggambarkan bagaimana detik itu sesuatu terasa menghantam perutnya dan menyakitinya, membuatnya sesak napas untuk bisa mengatakan apa yang disimpannya.
Sampai akhirnya, Satoru terpaksa kembali berpijak pada kenyataan.
Kenyataannya.
“Pengantinku cantik sekali.”
Utahime menoleh ketika mendengar suara itu.
Senyum otomatis terbit pada bibir ranumnya sementara matanya berkilat-kilat senang sambil memandang Suguru Getou yang mendekatinya. Melihat pemandangan itu, Satoru segera menelan segala kata yang sempat nyaris diucapkannya, memendamnya kembali di dalam ruang yang tak ingin diakuinya.
Bibir Satoru mengulaskan senyuman ceria. Bibir yang sama yang mengulum pahit penuh ketidakberdayaan.
Utahime melangkah menghampiri Suguru, meninggalkan Satoru di tempatnya berpijak bersama kegamangan dalam sorot mata birunya yang cerah namun tanpa terik.
Satoru hanya berdiri di belakang Utahime sambil berusaha kuat untuk tidak memeluknya, menariknya. Meminta Utahime Iori untuk memandangnya. Sekali saja.
Tapi Satoru hanya diam.
Diam.
Dan diam.
Seperti yang selama ini selalu dilakukannya. Satu-satunya hal yang bisa dilakukannya.
Begitu menyedihkan.
Begitu putus asa.
Satoru tertawa geli.
Seakan menertawakan bagaimana konyolnya penampakkan Utahime dan Suguru yang saling tergila-gila terhadap satu sama lain, tapi sebenarnya menertawakan betapa menyedihkan dirinya karena harus menyaksikan semua itu. “Baiklah, baiklah, karena calon suamimu sudah datang, aku harus pergi, Hime,” cetusnya pada Utahime. Utahime tidak menyahut, dan Satoru beralih pada Suguru. “Lakukan tugasmu dengan benar, bodoh!”
Suguru mendengus, tapi kemudian terkikik renyah. “Ya, maaf merepotkanmu. Rapatnya berjalan lebih lama dari yang kuduga. Tapi, terima kasih, Satoru. Di saat seperti inilah aku senang mengakuimu sebagai sahabatku.” gurau Suguru.
Satoru tergelak dengan kejengkelan. “Dasar sialan! Sudahlah, aku pergi, ya. Temanku sudah menunggu—Oh ya, aku akan memanggil pegawai butik dan menyampaikan keinginanmu, Hime.” Ia kembali menatap Utahime.
Utahime tersenyum kecil. “Terima kasih, Satoru.”
Satoru tersenyum lebar. Begitu ceria. Tapi tanpa siapa pun ketahui, jauh di dasar senyumannya, pria itu meminta tolong untuk diselamatkan.
“Dengan senang hati bisa membantu. Sampai jumpa di hari pernikahan!”
Setelah itu Satoru berlalu dari hadapan keduanya. Suguru segera memeluk Utahime karena tidak tahan melihat betapa memesona calon istrinya itu. Sedangkan Utahime memerhatikan punggung Satoru yang terus melangkah menjauh dalam kesendirian.
Dari kaca jendela besar butik, Utahime melihat Satoru akhirnya melangkah keluar dari butik itu, menembus udara dingin malam hari bersama salju yang terus berjatuhan menyentuh rambut putihnya.
Hawa dingin menusuk sendi. Membekukan setiap tetes air yang mengalir di permukaan. Membekukan setiap ranting. Membekukan setiap embun.
Di detik yang sama, ada yang berharap hawa dingin juga dapat membekukan perasaannya.
Sebab, Utahime sangat ingin memeluk Satoru melebihi apa pun di dunia ini.
Jiwa pria itu menggigil dalam dingin. Begitu kesepian dan kesakitan.
Utahime tahu itu.
Tapi ia hanya diam.
Diam.
Dan diam.
Seperti yang selama ini selalu dilakukannya.
Ya, fantasi yang mustahil untuk digapai.
***
I don’t love you. You probably already know. Even if you cry, my heart doesn’t hurt – Urban Zakapa (I Don't Love You)