➖Apple
Utahime masuk ke dalam mobil. Saat baru saja duduk di kursi pengemudi, ia segera terlonjak kaget melihat Satoru Gojo sudah duduk di sisinya.
Ia mendelik pada pria itu. “Kau sedang apa di mobilku?!” geram Utahime karena dibuat terkejut, dan semakin geram ketika melihat Satoru sama sekali tidak merasa bersalah. Pria itu malah tertawa senang.
“Halo, U-ta-hi-me!” sapa pria itu dengan riang.
“Senpai!” koreksi Utahime sembari memasang sabuk pengaman.
“Kau cantik sekali hari ini, Utahime.” Satoru sama sekali tidak memedulikan koreksi Utahime. Mata birunya dengan gembira memandangi wanita itu yang mengenakan gaun putih berpotongan sabrina dengan seksama. Ia bersiul sejenak dan kembali berkata. “Aku sampai tidak bisa berhenti memandangimu.”
Utahime berdecih, tidak tersentuh dengan pujian Satoru. Atau setidaknya, seakan-akan tidak tersentuh. “Simpan omong kosongmu untuk dirimu sendiri, Gojo. Aku tidak ada waktu meladenimu.” sahut Utahime dingin. Satu tangannya berada di kemudi setir, sementara tangan lainnya menyalakan mesin mobil.
Di sisi lain, Satoru merengut akibat perkataan Utahime. Ia bersikap seperti anak anjing yang mencari perhatian majikannya, tapi tentu saja Utahime justru merasa ingin memukulnya detik itu juga saat melihat aksinya itu. “Kenapa kau selalu jahat padaku, Utahime?”
Utahime mulai melajukan mobilnya. “Jaga sikapmu.”
“Tidak ada yang salah dengan sikapku!”
“Omong kosong.”
Satoru bersedekap di depan dada, ia memandang keluar jendela dan memerhatikan mereka mulai keluar dari area apartemen Utahime. “Jika sikapku baik, kau akan mencurigaiku, Utahime. Aku harus apa? Dasar wanita menyebalkan.”
“Hal terakhir yang ingin kudengar adalah disebut menyebalkan oleh orang yang paling menyebalkan. Dasar bodoh.”
“Maka hal terakhir yang ingin kudengar adalah disebut bodoh oleh orang yang paling lemah.”
Utahime seketika murka. “GOJO!!” teriaknya sembari menatap Satoru marah. Wajahnya memerah karena kekesalan. Untuk sesaat ia menunjukkan tatapan ingin mencekik Satoru, tapi tak berselang lama kemudian ia kembali fokus pada jalanan.
Satoru tergelak begitu geli di tempatnya melihat kemarahan Utahime padanya. Ia memamerkan cengiran lebarnya ketika tatapan menusuk dari Utahime kembali menghujamnya. Pria itu terlalu menikmati situasi dengan tak tahu malunya. “Hehehehehe... Baiklah, baiklah, aku minta maaf. Aku hanya bercanda, Utahime. Jangan histeris seperti itu.”
Utahime hanya diam. Terlalu malas menanggapi.
Melihat Utahime yang tidak mengacuhkannya, Satoru dengan ringannya mengelus pipi Utahime untuk menarik perhatian wanita itu. “Hei, jangan mendiamkanku, Utahime.” katanya, sama sekali tidak menyadari pipi Utahime yang merona akibat sentuhannya.
Lagi-lagi bersikap seolah apa yang dilakukan Satoru tidak memengaruhinya sedikit pun, Utahime tetap diam dan tidak memberi tanggapan berarti selain sebuah lirikan malas. Hanya sekilas, itulah mengapa Satoru tidak senang sama sekali.
“U-ta-hi-me~” panggil Satoru, masih berusaha mencari perhatian wanita di sisinya. Ia sedikit mendekat ke arah Utahime, senyuman khasnya menghias wajahnya yang diam-diam sering membuat Utahime sebal karena terlalu tampan. “Utahime, tolong katakan sesuatu. Aku tidak bisa hidup tanpa mendengar suaramu.” ucapnya lagi dengan begitu berlebihan.
Ucapan berlebihannya itu rupanya berhasil memancing bibir Utahime bergerak-gerak aneh. Sudah jelas wanita itu sedang menahan senyum. Dan, Satoru tahu itu sehingga senyumannya semakin melebar.
“Baiklah, hanya sebuah senyuman darimu sudah cukup untuk membuat hari seorang Satoru Gojo cerah.”
Utahime berdeham sesaat. “Diam, bodoh.”
Wajah Satoru terlihat puas luar biasa. “Baiklah, sekarang lebih baik. Hari ini adalah hari terbaik!”
“Ya, tentu saja hari terbaik.” komentar Utahime, sedikit kesulitan menutupi kesinisannya.
Alis Satoru terangkat. Ia memandang Utahime penuh perhatian, cemas. Suaranya melembut saat berujar, “Tampaknya hari ini kau tidak senang.”
“Tidak juga.”
“Jadi kau senang?”
“Itu lebih tidak mendekati.”
Satoru saat itu jelas tampak bingung. Utahime selalu memberikan jawaban yang tidak menjelaskan. Pria itu menghela napas. “Kau selalu sulit dipahami, Utahime.”
Saat mendengar perkataan Satoru, Utahime merasa bahwa sesuatu seperti membuatnya sulit bernapas. Ada penyesalan yang benci untuk diakui keberadaannya. Untuk mengenyahkan perasaan tak nyaman itu, Utahime akhirnya menyahut. “Sebenarnya kau yang terlalu mudah menentukan jawaban. Memangnya untuk menggambarkan keseluruhan suasana hati seseorang, jawabannya hanya terbagi menjadi senang atau tidak?”
Utahime Iori selalu menjadi pertanyaan dari segala tanya. Satoru selalu mengatakan itu pada dirinya sendiri. Utahime tahu, tapi ia tak menginginkannya. Ia tak mencarinya.
Satoru terdiam selama beberapa saat yang ia gunakan untuk memerhatikan Utahime dengan mata birunya yang begitu dalam. Tanpa ia tahu, Utahime merasa seolah samudra perlahan melahapnya, menelannya sedikit demi sedikit.
Ketidakberdayaan membuat Utahime lebih melihat realita.
“Apakah ini pertanda bahwa kau kini memberiku kesempatan untuk memahamimu? Apakah ini saat bagiku untuk berhenti bertanya-tanya mengenai dirimu tanpa jawaban berarti?” tanya Satoru akhirnya. Suaranya terdengar lembut, tapi ada keputusasaan di dalamnya.
Anehnya, Utahime-lah yang paling putus asa kala itu.
Ada hening bersama tekanan yang semerbak di antara mereka. Utahime menciptakan suasana itu untuk dirinya sendiri. Hukuman. “Memberimu kesempatan? Tentu tidak. Sudah habis waktuku. Tapi, saat bagimu untuk berhenti bertanya-tanya? Ya, ini saatnya.”
Di balik suara lirihnya yang penuh kegamangan, kalimat Satoru terdengar seperti bisikan. “Aku tidak tahu apakah itu hal yang baik atau buruk.”
“Bagaimana jika kukatakan bahwa sekarang adalah giliranku untuk melakukan hal yang kau lakukan?” Utahime menoleh, bertemu pandang dengan samudra biru yang menenggelamkannya.
Terus tenggelam.
Menuju kegelapan.
“Hal yang kulakukan? Memikirkanmu?” tanya Satoru, tak benar-benar paham.
Utahime tersenyum kecil sembari mengalihkan pandangan kembali ke jalan raya. “Ya, memikirkanmu, Gojo.”
Senyum Gojo merekah sempurna. Kebahagiaannya sama sekali tak ingin ditutupinya. Atau, kebahagiaan Utahime. “Aku senang dengan gagasan itu. Lalu, apa lagi?” ucapnya, sepenuhnya bersemangat.
“Katakan saja.”
“Merindukanmu?”
Utahime terkekeh samar. Geli melihat perpaduan ekspresi senang Satoru dan perkataan pria itu. Tubuhnya menjadi rileks, sangat nyaman dengan atmosfer di antara mereka saat itu. “Baiklah, aku akan merindukanmu.”
Satoru tertawa senang. Ia semakin menggebu-gebu. “Bagaimana dengan menginginkanku?”
Jeda sejenak. Utahime menoleh pada Satoru. “Kau menginginkanku?”
Satoru menampakkan ekspresi terkejut yang dibuat-buat. Pria itu bersikap sarkastik sekarang. Sebab baginya, ucapan Utahime tidak lebih dari pertanyaan retoris. “Aku terkejut kau tidak mengetahuinya.” cetusnya kemudian.
Utahime tak bisa menahan rasa jengah dan putaran pada matanya. “Kurasa kau hanya berusaha untuk membuatku berpikir demikian.”
Melihat bagaimana Utahime begitu skeptis terhadap perasaannya, Satoru segera memberi penegasan. Utahime butuh itu. “Tidak. Aku bersungguh-sungguh. Aku menginginkanmu, Utahime. Aku yakin di dunia ini hanya kau yang tidak mengetahuinya.”
Utahime tidak menjawab. Pegangannya pada setir kemudi menguat. Matanya mulai terasa perih.
“Mungkin kau memang tidak ingin mengetahuinya.” Satoru kembali berucap nanar.
Setelah menelan ludahnya untuk membersihkan kepahitan di tenggorokannya, Utahime akhirnya kembali menemukan suaranya. Bibirnya sedikit bergetar saat mengatakan, “Maafkan aku, Gojo...”
Satoru tersenyum menenangkan. Ia membelai rambut Utahime dengan lembut, memberi kehangatan yang selalu Utahime sukai sekaligus benci darinya. Kehangatan yang kini menjadi bagian dari fantasi Utahime Iori.
“Tidak apa. Sekarang kau juga menginginkanku, bukan? Sebab, itulah hal yang kulakukan; menginginkanmu setiap saat.” Satoru mencari kepastian. Kepastian yang juga dicari Utahime di dalam dirinya sendiri. Mengais.
Namun Utahime menyadari hal penting yang akhir-akhir ini sulit diterimanya; waktu dan pilihan. Utahime menghela napas dalam, berusaha tetap bersikap logis. “Entah hal yang kau katakan kenyataan atau ilusi semata, bagaimanapun juga sekarang memang giliranku.”
Tangan Satoru turun dari kepala Utahime seiring dengan kalimat wanita itu memenuhi pendengarannya. Kini tangan itu terkepal di atas pahanya. Pria itu berusaha menciptakan keyakinan untuk Utahime yang mengemis atas hal itu. Dan yang bisa dilakukan Satoru adalah memberikan apa yang diinginkan Utahime.
Kepalan tangan Satoru menguat bersama kerasnya Utahime menggenggam kemudi setirnya. “Kau mungkin sulit memercayai ucapanku, tapi kaulah yang paling tahu seberapa kuat kau menutup matamu dari bagaimana aku berusaha atas hal-hal mengenai dirimu.”
Jiwa Utahime tersentak begitu keras. Pegangannya mengendur. Kerapuhan perlahan melingkupinya. “Aku tidak benar-benar yakin pada perasaanmu saat itu.”
“Lalu bagaimana dengan sekarang?” tanya Satoru.
“Aku lebih tidak yakin pada diriku sendiri.”
“Kenapa?”
“Karena... aku terlambat atas banyak hal.” aku Utahime setelah banyak tahun berlalu secepat kedipan mata dan membuang banyak hal berharga yang kini membuat Utahime rela menjual hidupnya untuk mendapatkannya.
Menyedihkan.
Satoru kembali membagi senyum menenangkan miliknya kepada Utahime. Ia menangkup tangan Utahime yang berada di atas kemudi, mengelusnya sejenak sembari berkata, “Itulah mengapa aku ada di sini, Utahime. Kau mulai menerima semuanya meski terlambat. Aku di sini untuk menerimamu dalam keterlambatan.”
“Juga dalam kemustahilan?”
“Akulah kemustahilan, Utahime.”
Utahime menepis tangan Satoru sembari tertawa mencemooh karena ucapan angkuh pria itu. Ia menyahut dengan decihan. “Cih, arogan sekali.”
Satoru tergelak begitu geli akibat tanggapan Utahime. “Hahahaha... Kau yang menciptakan kemustahilan itu, ingat?”
Utahime meringis. “Terlalu miris untuk mengakuinya.”
Senyum di wajah Satoru terkembang. “Aku di sini. Fakta itu sendiri adalah jawaban yang paling kau kuasai. Kau tidak harus menyuratkannya dalam penalaranmu, Utahime. Kau hanya perlu menerimanya.”
Dengusan lolos keluar dari hidung Utahime. Wajahnya tidak terlihat senang sama sekali. Ia jengkel luar biasa. “Baiklah, kau benar. Aku membencimu karena kau tahu segalanya.”
Seringaian licik memenuhi bibir Satoru. Ia mencondongkan tubuhnya ke arah Utahime, dan berbisik menggoda, “Maksudmu mencintaiku?”
“Diamlah, brengsek.”
“Kita tahu bahwa aku benar.”
Utahime memutar matanya. Arogansinya sungguh tidak pernah luntur hingga akhir, pikir Utahime. “Terserahlah.”
“Aku juga mencintaimu, Utahime.”
Utahime tertegun sejenak. Ia menoleh pada Satoru, dan tersenyum kecil pada pria yang kini juga tengah tersenyum padanya dengan senyum yang sangat Utahime kenal. Senyum yang hanya pria itu berikan padanya. Senyum yang membuat Utahime merasa menjadi dunia bagi Satoru Gojo.
Senyum yang selalu tersimpan manis di dalam memorinya.
Kemudian Utahime kembali memandang ke depan. Senyumnya tak pernah lepas dari bibirnya. “Yah, mungkin hari ini tidak seburuk itu.”
“Apakah ini bentuk rayuanmu?” gurau Satoru. Ada kekehan jahil di akhir kalimatnya.
Utahime segera memekik keras. “AKU TIDAK MERAYUMU!”
Dengan tak tahu malunya Satoru berdecak sebal. Ekspresinya terlihat murung. “Sekarang aku kecewa. Ayolah, rayu aku, Utahime.”
“Pembicaraan bodoh.” tukas Utahime ketus. Meski tampak kesal, tapi pipinya perlahan-lahan memiliki semu merah. Ia tidak bisa menahan malu melihat sikap Satoru saat itu.
Melihat tanggapan Utahime, Satoru semakin bersemangat melancarkan godaan. Dan, Utahime tahu itu. Ia tahu Satoru akan selalu seperti itu. “Kau menyukai pembicaraan ini, Utahime.”
“Diam atau aku akan menjambak rambut putih bodohmu itu.”
“Tapi kau selalu ingin mengelus rambut putih bodoh ini, Utahime.”
“GOJO!!”
Satoru tidak bisa menahan tawanya yang akhirnya menguar di sana dengan keras. Tawanya terdengar renyah di telinga Utahime. Wanita itu menyukainya. Semakin. “Baiklah, karena kau menggemaskan aku akan menurutimu. Kau puas, Utahime?” Itulah ucapan terakhir Satoru sebelum akhirnya ia menatap keluar jendela dengan wajah merengut.
Utahime melirik pria dewasa yang sesaat lalu tertawa keras dan sekarang merajuk dalam hitungan detik. Sekuat tenaga ia menahan senyuman geli terulas di bibirnya. Melihat sisi seorang Satoru Gojo yang kekanakan memang menyebalkan, tapi ada perasaan terhibur yang tidak bisa dihilangkan Utahime. Pria itu terlalu menarik.
Setelah beberapa saat, Utahime akhirnya membuka suara. “Apakah sekarang kita terikat?” Ia sangat penasaran tentang apa yang mereka miliki sekarang. Ia butuh kejelasan atas dirinya sendiri.
Satoru memandangnya. Cengiran lebar memenuhi wajah arogannya yang mengesalkan. “Selamat, Utahime, aku terikat padamu begitu erat sekarang. Kau pasti bahagia hingga ingin tersenyum seperti orang sinting.”
Seperti orang sinting? Tidak. Utahime sudah sinting.
Setelah mendesah panjang yang sarat akan rasa lelah, Utahime menanggapi dengan malas. “Aku sudah cukup bicara denganmu. Sekarang diam.”
“WANITA KEJAM!” seru Satoru yang kebetulan pada saat itu mereka sudah tiba di tempat tujuan.
Setelah memarkirkan mobil, Utahime menatap pria di sampingnya sesaat, lalu mematikan mesin. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia melangkah keluar dari mobil. Tentu saja Satoru mengikutinya.
Mereka berjalan masuk ke bangunan di hadapan keduanya. Mereka berjalan bersama orang-orang yang datang dan menuju tempat yang sama. Orang-orang itu saling berbagi sapa dan suka.
Utahime tersenyum ketika melihat para rekan kerjanya. Ia menyapa mereka dengan ramah sembari terus melangkah. Senyum semakin melebar hingga deretan giginya terlihat ketika ia merasakan tangan Satoru melingkupi tangannya, menggenggamnya begitu erat dan memberinya asa dan angan.
Bahwa ia akan bahagia bersama tangan itu.
Utahime dan Satoru duduk berdampingan saat memasuki altar. Shoko yang tiba beberapa saat kemudian duduk di sisinya yang lain setelah memberinya pelukan singkat yang begitu hangat.
Utahime mulai merasa jantungnya berdegup lebih cepat ketika himne pernikahan mulai bergaung. Semua tamu bangkit berdiri dari duduknya. Mendatangi pernikahan selalu membuat Utahime iri dan mempertanyakan dirinya sendiri. Kapan ia akan merasakannya?
Mungkin pertanyaan sebenarnya adalah: apakah ia akan merasakannya?
Tetapi ibu jari Satoru yang mengelus punggung tangannya langsung mengalihkan Utahime dari pikiran negatifnya. Sentuhan itu sungguh menenangkan hingga ia merasakan keinginan kuat untuk bersandar pada Satoru dan sepenuhnya tenggelam dalam perasaannya yang meluap untuk pria itu. Namun ia tahu, ia tak mungkin melakukannya.
Pintu altar akhirnya terbuka. Utahime berpandangan sejenak pada Shoko. Kemudian dengan cepat ia mengalihkan tatapan ke arah lain. Pada samudra biru Satoru yang kini juga tengah menatapnya begitu dalam.
Pria itu tersenyum pada Utahime. Begitu cerah, seperti biasanya. Utahime membalas senyuman itu, tetapi kesulitan untuk sungguh-sungguh memiliki kecerahan yang sama persis.
Satoru tidak ambil pusing pada senyum milik Utahime. Senyumannya berubah ketika pria itu menyapukan pandangan ke arah lain. Senyuman yang menampakkan siapa dunia seorang Satoru Gojo. Senyuman yang diberikannya pada wanita yang digenggamnya.
Genggaman Utahime menguat. Genggamannya pada kehampaan udara yang terjalin di antara jemarinya.
Ia menoleh ke samping.
Gojo-nya tak pernah ada di sana.
***
Jiwa kita rekat. Raga kita bayang. Mengabur dirimu; kenyataan bagiku.