Hiperealita

makna untuk mempersifatkan bagaimana kesadaran mendefinisikan “kenyataan” sejati di dunia.


“Kenapa ramai sekali, ya?” Utahime bertanya sembari menyandarkan tubuh pada sandaran kursi taman.

Mata cokelatnya memandang lurus. Jauh ke depan sana, mengarah pada orang-orang yang berlalu-lalang masuk dan keluar dari sebuah bangunan kayu.

“Ya, itulah yang kupertanyakan sejak tadi,” sahut Satoru yang duduk di sampingnya. Senyum geli terpatri pada wajah tampannya.

“Tempat ini begitu aneh.”

“Kau benar. Sejujurnya, aku tidak terlalu nyaman bersamamu di tempat seperti ini. Seharusnya kita berada di tempat yang menyenangkan.”

“Kau tahu aku membenci keramaian, bukan?”

“Ya, Utahime.”

“Tapi kau membuatku berada di tempat ini, yang dipenuhi dengan wajah-wajah yang tidak kukenali.”

“Aku tidak bermaksud. Bahkan untukku pun banyak sekali orang yang tidak pernah kulihat sebelumnya.”

Utahime mendesah panjang, sarat akan rasa lelah. “Yah, kurasa ini hal yang wajar mengingat kau adalah kepala klan.”

Satoru terkekeh kecil. “Ya, begitulah.”

“Yang lebih menyebalkan adalah tatapan mereka. Lihat tatapan mereka padaku. Memangnya ada yang salah dari diriku? Aku tidak memahaminya.”

“Mungkin karena kimonomu terlihat cantik.”

“Astaga... Kurasa yang paling membuatku tidak tahan untuk bergabung ke dalam kumpulan orang-orang itu adalah...” suara Utahme menajam saat melanjutkan, “para wanita yang datang tidak henti-hentinya.”

Satoru menggaruk tengkuknya penuh kegugupan. “Uhm... Maafkan aku, Utahim—.”

“Dasar bajingan sialan,” umpat Utahime pelan.

Satoru tertawa keras. “Maafkan aku. Aku pun tidak lagi mengingat nama mereka. Aku juga tidak mengerti kenapa mereka merasa harus datang.”

“Sudahlah. Tidak berguna juga merasa marah sekarang.”

“Ya, sama sekali tidak berguna. Pada akhirnya aku bersamamu sampai akhir.”

“Setidaknya sekarang aku tahu siapa aku bagimu.”

“Kau duniaku, Utahime.”

“Aku tahu kau akan mengatakan hal bodoh.”

Satoru tergelak keras. “Aku terluka kau menyebut ungkapan perasaanku sebagai hal yang bodoh.”

Tidak, pria itu sama sekali tidak terluka.

“Jika memang perasaanmu itu nyata, seharusnya kau memberikan cincin itu langsung padaku. Kenapa kau malah menitipkannya pada Nanami? Kau ingin aku menikah dengannya?”

“MANA MUNGKIN SEPERTI ITU!!!”

“Aku tahu kau akan menyangkalnya. Tapi, Gojo, kau meninggalkanku.”

Satoru terdiam.

“Kau bahkan tidak akan bisa mendengarku memanggil namamu.”

”... Aku bisa mendengarnya sekar—”

“Aku benci setiap kali kau bertanya padaku apakah aku menangis karena aku lemah. Tapi rupanya, aku jauh lebih lemah dari yang siapa pun duga.” Utahime menelan ludahnya, menelan bongkahan kepahitan yang mengganjal tenggorokannya.

“Bahkan diriku sendiri,” lanjutnya dengan suara serak.

Satoru tertegun.

“Ketika aku melihat duniaku runtuh hanya dalam satu malam, aku sadar bahwa selama ini kau memang benar, Gojo. Aku lemah. Aku bahkan lebih dari itu.”

“Tidak, itu tidak benar.”

“Aku pikir jika aku bersikap lemah, kau akan datang untuk sekadar menertawakanku. Tapi, tidak ada yang terjadi. Sebab, berapa kalipun aku menangis dengan begitu putus asa, kau tidak lagi ada di sini.”

Utahime melihat Shoko melangkah menuju ke arahnya. Mata Shoko menatap lekat padanya. Utahime merasa sesak karena iris mata itu membuatnya melihat realita.

“Utahime, sudah saatnya Kokubetsushiki.”

▪️▫️

Kokubetsushiki: memorial ceremony, where friends and acquaintances of the bereaved pay their respects to the dead and offer condolences to the family.