➖ 1 a.M

Biru itu memandangnya tajam.

Itulah kesan yang Utahime rasakan sesaat setelah ia memasuki dapur untuk mengambil minum. Ia berpandangan dengan Satoru, yang tengah duduk di kursi pantri sembari meminum susu cokelatnya. Ya, susu cokelat yang sempat membuat heboh para penggemar.

Utahime mengangkat alisnya sejenak, heran melihat sikap Satoru saat itu. Sama sekali tak ada senyuman. Padahal laki-laki itu selalu dan tak pernah tidak menyambut kepulangannya dengan mata berbinar bersama senyum sumringah.

Tapi meski Utahime merasa heran dengan perubahan tersebut, ia tidak menunjukkan sikap acuh. Gadis itu hanya terus melangkah menuju kulkas, mengambil sebotol air mineral dan meneguknya perlahan.

“Ini udah jam satu malem, Utahime.” Akhirnya ucapan pertama Satoru terdengar. Suaranya tidak terdengar ramah, membuat Utahime diam-diam menyimpan rasa terkejut di balik ketenangannya.

Masih dengan tubuh menghadap kulkas, yang mana membelakangi Satoru, Utahime menyahut ringan. “Gue tau.”

“Kenapa pulangnya bisa semalem ini, sih? Emang besok nggak ada jadwal?”

Utahime berbalik, bersandar pada kulkas dan membalas tatapan Satoru. “Siang, kok.” jawabnya kemudian.

Satoru mendengus kasar. Ekspresi wajahnya terlihat jengah sesaat sebelum ia bangkit berdiri, mendekati tempat Utahime. Tatapan dari mata birunya tidak pernah terputus dengan mata cokelat gadis itu. Bahkan, semakin dekat biru itu menuju tempatnya, Utahime merasa pandangannya semakin lekat dan menyesakkan.

Ketika Satoru hanya berjarak lima langkah dari Utahime, laki-laki yang telah terbalut pakaian tidur dengan wajah lelah itu menyahut. “Tetep aja, Utahime Iori. Kalo lo sakit gimana? Sekarang ada keluhan apa gitu nggak? Pusing? Pegel-pegel? Atau apa gitu?”

Melihat bagaimana Satoru menampakkan kekhawatiran atas kesehatannya, Utahime mengalihkan tatapannya ke arah lain. Ia menolak untuk merasa tersentuh atau semacamnya. Ia tahu Satoru hanya berusaha bersikap baik.

Namun, sungguh, Utahime tidak butuh itu.

Genggaman Utahime pada botol air mineral di tangannya sedikit menguat. Tanpa merasa ingin membalas tatapan iris biru yang masih menghantuinya, Utahime berceletuk asal. “Bawel, ah.”

Satoru mendekat perlahan hingga menyisakan dua langkah di antara mereka. “Tuh, diperhatiin malah begitu.”

Sambil memutar matanya penuh cibiran, Utahime berkata, “Gue nggak pernah minta diperhatiin.”

Kalo diperhatiin Hyoga mau?”

Keadaan seketika berubah senyap.

Terlalu senyap hingga Utahime bisa mendengar jelas suara detak jam dinding. Terlalu senyap hingga Utahime bisa mendengar deru napasnya sendiri. Dan di tengah kesenyapan itu akhirnya Utahime menoleh pada Satoru, yang baru disadarinya telah berdiri menjulang di hadapannya. Utahime baru tahu jarak dua langkah bisa terasa sedekat ini.

Leher Utahime yang terpaksa mendongak untuk menemukan biru milik Satoru terasa mulai lelah. Dasar kaki-kaki panjang menyebalkan! Tapi, Utahime tidak ingin berhenti mendongak sampai menemukan jawaban dari keterkejutannya atas pertanyaan Satoru.

Pertanyaan yang terlampau ambigu.

Apa maksud laki-laki itu?

Setelah beberapa saat, Utahime akhirnya kembali menemukan suaranya. “Hah? Maksudnya?”

Satoru yang kini membuang pandangan ke arah lain. Nyaris terlihat seperti menghindari mata penuh tanya Utahime. “Lo ngerti maksud gue,” ucapnya, lirih sekali sampai-sampai Utahime harus diam beberapa saat untuk mencerna.

“Kenapa tiba-tiba bahas Hyoga?” tanya Utahime lagi, semakin mendesak.

“Nggak apa-apa.”

Sebelah alis Utahime terangkat. “Dih, masa gitu?”

“Iya, gitu.”

Dengan mata memicing penuh selidik, Utahime memerhatikan Satoru yang masih belum memandangnya. “Apa, sih? Jangan bilang lo bahas Hyoga setelah nonton episode hari ini?”

Akhirnya perhatian Satoru kembali pada Utahime. Sedetik setelah mereka kembali beradu pandang, wajahnya berhasil memancing kedongkolan di diri Utahime. Sebab, laki-laki itu tampak seperti meledeknya. “Emang episode hari ini kenapa? Nggak ada hal penting, tuh.” balas Satoru, kedua tangan terlipat di depan dada.

Sejujurnya, Utahime merasa Satoru lebih terlihat seperti sedang merajuk. Tapi tentu saja pemikiran tersebut menggelikan, bukan? Tidak mungkin Satoru merajuk. Tak ada alasan.

Untuk menanggapi perkataan Satoru, Utahime menyahut, “Kan ada adegan ci—” Mata Utahime membulat sempurna ketika Satoru membekap mulutnya dengan tangan. Kemudian rasa terkejut Utahime meningkat sewaktu ia melihat wajah Satoru kala itu.

Kenapa laki-laki itu tampak kesal?

Jangan. Jangan pernah bahas itu.” Satoru berkata dengan begitu tenang namun penuh penekanan. Mata biru langitnya tampak berawan, tidak ada kecerahan di dalamnya. Dan kenyataan itu membuatnya tampak seperti sosok yang sepenuhnya berbeda.

Alis Utahime bertaut. Mata karamelnya terlihat kebingungan sekarang. Terlalu banyak pertanyaan. Apa yang harus dipikirkannya lebih dulu?

Utahime tak tahu.

Utahime terlalu bingung.

Ada apa ini?

Utahime menepis tangan Satoru dari bibirnya. Tangannya yang masih menggenggam botol, semakin menguat. “Lo... kenapa, anjir?”

“Nggak tau,” Satoru menggeleng. “Mungkin gue terlalu sebel nungguin lo pulang gara-gara lo lama banget.” Baiklah, kali ini Satoru sungguh-sungguh merajuk. Laki-laki itu bahkan tidak malu sedikitpun untuk menunjukkannya.

Tetapi meskipun Utahime ingin sekali mencela sikap aneh Satoru, ucapan laki-laki berambut putih itu berhasil mengalihkan fokusnya. Berusaha untuk tidak terlihat tercengang, Utahime bertanya. “Lo nungguin gue?”

Satoru mengangguk.

“Kenapa? Padahal lo nggak harus nungguin gue. Kalo kelamaan, ya langsung tidur aja.” cetus Utahime, lagi-lagi mendapati dirinya dibuat terheran-heran dengan tingkah Satoru Gojo.

“Nggak bisa kalo belum liat lo pulang.” Jawaban Satoru sebenarnya memiliki banyak makna, tapi Utahime menghindari dirinya sendiri dari keinginan untuk mengetahui lebih dalam. Terutama karena Satoru mengatakan kalimat itu dengan pembawaan terlampau ringan, Utahime tahu bahwa kalimat itu bahkan tidak memiliki arti.

“Dasar aneh. Kayak emak-emak aja lo.” Utahime akhirnya menjawab sekenanya. Dangkal. Sama dangkalnya dengan pemaknaan yang ia miliki dalam kepalanya.

Dan, entah seingin apa pun Satoru untuk melangkah mendekat, Satoru tetap berpijak di tempatnya. Tahu bahwa itulah tempat terideal yang bisa dijangkaunya. Kemudian, ia membalas dengan gurauan. “Iya kali, ya, gue ada sisi keibuan?”

“Bego.” Utahime mencibir. “Udahlah, tidur sana. Udah liat gue pulang, kan?”

“Lo juga tidur. Ayo, gue anterin ke kamar lo.” Satoru memberi tanda pada Utahime untuk mulai melangkah bersamanya menuju kamar gadis itu.

Utahime memutar matanya. “Ribet.”

Meski melemparkan komentar ketus, Utahime tetap membiarkan Satoru mengantarnya menuju kamar. Sepanjang jalan mereka hanya diam, sesuatu yang baru terjadi. Biasanya Satoru selalu memiliki segudang topik untuk dibagikan dengan Utahime. Entah apa yang membuat laki-laki itu memutuskan untuk bersikap berbeda kali ini.

Walau begitu, bukan berarti perjalanan singkat mereka terasa canggung. Sebaliknya, hening di antara mereka tetap nyaman seperti waktu-waktu ketika banyak kata terjalin di udara yang mereka bagi.

Ketika mereka akhirnya mencapai pintu kamar Utahime, Satoru mengusap puncak kepala Utahime sejenak dan langsung pergi tanpa mengatakan apa-apa.

Utahime tidak bisa menahan dirinya untuk tidak memerhatikan punggung Satoru yang terus berjalan menjauh. Laki-laki itu tidak sekali pun menoleh, hanya terus melangkah tanpa rasa peduli.

Satoru sungguh membingungkan. Utahime tidak bisa memahami laki-laki itu sepenuhnya. Tetapi, Utahime tahu satu hal.

Tidak ada senyuman untuknya malam ini. ▫️▪️