➖cAlm/?
Utahime tidak tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi, tapi satu hal yang pasti: seseorang baru saja jatuh pingsan setelah melihatnya di depan pintu.
“HHAAAHH?! ANJIR, WOY!!! SERIUSAN ADA UTAHIME??!! INI BENERAN UTAHIME IORI???!!!”
Utahime mengangkat wajahnya dari laki-laki berambut putih yang masih terbaring di lantai tepat di ambang pintu, menuju pemilik dari suara yang baru saja memekik keras. Akhirnya Utahime menemukan laki-laki berambut putih lainnya, yang kini sedang menutup mulutnya dengan tangan bersama ekspresi terkesima.
Tak lama kemudian, seseorang yang lain—juga dengan rambut putih, datang mendekat. Dan, melakukan hal yang sama; memekik penuh keterkejutan dengan kalimat yang kurang lebih serupa.
Yah, Utahime bersyukur setidaknya tidak ada yang jatuh pingsan lagi.
Di tengah kehebohan itu, Satoru tidak juga berhenti tertawa terpingkal-pingkal sejak Gintoki pingsan saat melihat Utahime. “Aduh, goblok banget, anjing,” cetus Satoru di sela-sela tawanya. Saking merasa kejadian yang dilihatnya tadi adalah hal yang terlalu menggelikan, laki-laki itu sampai berjongkok. Terlalu lemas untuk tetap berdiri.
“Et, itu si Gin malah pingsan.”
“Pinggirin dulu dah, biar kagak ngalangin jalan, Bang.”
“Lo, lah, yang pinggirin, To.”
“Bang Shou kan lebih tua, harusnya bisa mikir. Mana mungkin gue bisa minggirin sendiri. Bang Gin aja badannya seberat timbangan amal buruk di akherat.”
“Oh iya, bener. Maap, ye. Ya udah, bantuin sini.”
Kira-kira itulah pembicaraan yang didengar Utahime di antara dua laki-laki yang kini mulai menggulingkan tubuh pingsan teman mereka ke samping, menjauhi pintu. Setelah dirasa tubuh Gintoki sudah tidak menghalangi jalan, kedua laki-laki itu kembali ke hadapan Utahime. Laki-laki yang dipanggil 'Shou' memamerkan senyum sumringahnya, sementara laki-laki yang terlihat lebih muda yang dipanggil 'To' memasang senyum simpul dengan kesan malu-malu.
“Utahime, ayo, masuk. Bangkenya udah disingkirin, jadi kita bisa lewat tanpa harus ngerasa jijik.” Satoru yang akhirnya berhasil mengendalikan tawa, berucap dengan suara geli. Ia berjalan mendahului Utahime, masuk ke dalam apartemen dan memberi tanda pada gadis itu untuk mengikutinya.
Utahime melangkah di belakang Satoru sembari memerhatikan sekitar. Di belakangnya, dua laki-laki aneh tadi mengekori. Keduanya diam-diam saling senggol dengan heboh karena terlalu senang dan bersemangat atas kunjungan seorang Utahime Iori ke dorm mereka hari itu.
Mereka memasuki ruang Tv. Satoru mempersilakan Utahime duduk di salah satu sofa. Saat itulah ia mulai memperkenalkan dua teman segrupnya yang sudah tidak sabar dikenalkan dengan Utahime. “Utahime, kenalin, ini Shousi.” Satoru menunjuk laki-laki yang berdiri tepat di sisinya, laki-laki pertama yang datang setelah kejadian pingsan tadi. Di saat Shoushi sedang menyalami tangan Utahime, Satoru kembali berkata sambil menepis jabat tangan mereka. “Nggak usah terlalu akrab sama dia. Dia genit, mana suka boker.”
Seketika Shousi berseru, keberatan. “Fitnah dajjal!”
Tanpa menggubris Shoushi, Satoru kemudian menunjuk laki-laki terakhir yang berada di samping Shousi. “Ini Tomoe, dia maknae di sini, tapi paling kurang ajar. Nggak usah terlalu akrab juga sama dia.”
Tomoe tidak memedulikan komentar buruk Satoru terhadap dirinya, memilih menyunggingkan senyum terbaiknya ketika menjabat tangan Utahime. Lalu berkata dengan sok lembut. “Jangan didengerin, ya, Kak. Kak Utahime tau, kan, Bang Satoru emang agak...” Tomoe melanjutkan kalimatnya, “aneh,” tanpa suara, yang langsung dihadahi dengan jitakan oleh Satoru.
Utahime sama sekali belum mengucapkan satu patah kata pun sejak tadi. Ia hanya tersenyum. Tersenyum bingung, canggung, dan geli. Ia masih berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Sebab, hei, ada yang jatuh pingsan! Apakah tidak apa-apa membiarkannya begitu saja tergeletak di dekat pintu? Dan yang terpenting, Utahime merasakan perasaan asing yang sungguh aneh.
Ia merasa familiar dengan semua orang di sana, terutama Gintoki. Rasanya bahkan terlalu familiar hingga ia merasa seperti mengenal mereka semua. Mungkin karena ia sering mendengarkan cerita Satoru mengenai semua anggota grupnya. Dan, cerita mengenai tingkah aneh Gintoki adalah cerita yang paling sering didengarnya.
Sekarang hanya tersisa satu orang yang belum ditemui Utahime.
“Wah, ada tamu penting ternyata.”
Utahime yang masih duduk di sofa ruang Tv sambil memerhatikan ketiga orang yang sedang meributkan sesuatu yang tentu saja tidak penting, langsung menoleh ke belakang. Seorang laki-laki dengan sebuah senyuman teduh dan pembawaan yang begitu dewasa serta berwibawa, datang dari ruangan lain yang Utahime duga sebagai dapur.
“Ini Bang Shinya. Leader kita. FYI, dia seumuran sama lo.” Satoru memperkenalkan. Di saat yang sama, Shinya sudah berada di hadapan mereka semua. Matanya tak pernah lepas dari sosok Utahime.
Utahime bangkit berdiri, menyambut uluran tangannya. “Hai, gue Shinya. Seneng akhirnya bisa ketemu lo.” Shinya berucap riang, kalimatnya terdengar sangat tulus. Senyum pada wajahnya melebar ketika melihat balasan senyum dari Utahime.
“Halo, gue Utahime. Salam kenal, Shinya. Sorry, ya, hari ini gue bakalan ngerepotin kalian,” balas Utahime. Akhirnya bisa mengatakan sesuatu setelah sejak tadi hanya mengulas senyum.
Setelah perkataan Utahime bergaung di ruangan itu, semua orang di sana—kecuali Shinya, berteriak penuh semangat secara serempak. “NGEREPOTIN AJA YANG BANYAK!”
Satoru segera mendelik tajam pada Shousi dan Tomoe. “Idih, kagak usah caper, dah, lo berdua.”
“Lo, tuh, capernya kurangin. Emang kagak capek caper ke Utahime terus?” Shousi membalas sengit.
“Mending lo jaga sikap, Bang. Jangan sampe kita emberin kelakuan lo.” Tomoe menimpali, yang akhirnya memancing pertikaian baru yang tidak jelas di antara ketiganya.
Shinya segera mengambil alih keadaan. Ia memandang Utahime yang kini tengah memerhatikan kejadian barusan dengan pandangan tertarik. “Maaf, ya, Utahime. Mereka emang selalu begini.”
Utahime menggeleng, menunjukkan bahwa ia tidak keberatan sama sekali berada di situasi ini. Sambil tersenyum memahami, Utahime menjawab. “Iya, nggak apa-apa, kok. Santai aja. Tapi... itu, yang pingsan—”
“EH, CUY! MASA GUE MIMPI UTAHIME KE SINI, ANJIR!! TIDUR DI DEPAN PINTU BERARTI BUKAN NGALANGIN JODOH, MALAH MIMPIIN JODOH!!” Mendadak sebuah teriakan terdengar dari arah lorong pintu depan. Sudah jelas itu suara milik Gintoki yang akhirnya sudah kembali sadar.
Semua orang di ruang Tv langsung memusatkan perhatian ke arah kedatangan Gintoki. Wajah Gintoki ketika memasuki ruang Tv dipenuhi dengan senyuman senang. Semua orang menatapnya dalam diam. Tidak, lebih tepatnya, diam karena menahan tawa.
Pada awalnya Gintoki bingung melihat sikap teman-temannya. Tapi, ketika ia berpandangan dengan mata karamel milik sosok gadis yang sempat dikiranya hanyalah mimpi belaka, saat itu pula Gintoki tahu bahwa hidupnya sudah berakhir.
Terutama ketika ia melihat dengan jelas bagaimana Utahime Iori menggigit bibirnya untuk menahan tawa sekuat tenaga sampai membuat wajahnya merah padam.
Tidak sanggup menahan malu dan kecewa terhadap takdir, Gintoki berlari ke kamarnya sambil menangis.
Tersedu-sedu.
Kenapa takdir jahat banget, sih, sama aku? ▪️▫️